komentar anda

ShoutMix chat widget

7.16.2009

Penutup

Seperti sudah saatnya saya menutup tulisan ini sebab tidak ada topik yang menarik untuk dibahas karena beberapa tulisan di chapter 6 sampai 12 adalah bagian dari pengalaman iman seorang Kruyt sebagai missionaries (zending). Selanjutnya tanpa mencoba masuk ke nilai-nilai ke Kristenan. Pada akhir tulisannya dijelaskan bahwa Papa i Wunte merupakan kepala suku pertama yang dibabtis dan menjadi Kristen serta meninggalkan kepercayaan “kafirnya”. Pengaruh Papa i Wunte kemudian memyebabkan hampir sebagian besar to Pebato menganut kepercayaan baru.


( foto: Komunitas baru dari himpunan suku to Pebato. daerah itu diberinama Kasiguncu)

Seiring besarnya pengaruh Kerajaan Belanda di Napu dan Luwu maka kedua daerah yang merupakan pusat kerajaan suku terkuat di daerah Sulawesi Tengah dapat ditaklukan. Kehidupan to Poso menjadi lebih baik karena mereka tidak lagi menghadapi tekanan yang begitu besar dari kedua kerajaan suku itu sehingga perang antar suku semakin berkurang.
Penulis tidak menutup mata dengan kehadiran Bangsa Belanda di Tana Poso selain untuk memperlebar daerah jajahanya, mereka pula juga menjalankan misi pengkristenan pada suku-suku yang belum mengenal Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata pengkristenan yang saya tulis bukan bermaksud menyudutkan pihak manapun Sebab saya sendiri sulit mencari padanan kata yang lebih tepat terhadap salah satu misi yang mereka lakukan di tanah to Poso, dan daerah lain di Indonesia dimana mereka membangun benteng pertahanan dan koloni.
Analisa lain yang saya simpulkan dari tulisan ini adalah
1. keberadaan Zending ditengah-tengah suku pedalaman merupakan sebuah langkah berani pemerintah belanda untuk mempelajari segala sesuatu tentang kebudayaan dan potensi alamnya. Sebab di daerah lainpun tidak sedikit Zending yang dibunuh dalam upaya menelusuri kehidupan masyarakat suku pedalaman yang di isilahkan dengan orang kafir.
2. menurut saya Kruyt seolah olah ingin mengukapkan secara tersirat praktek penjajahan pada suku lain itu tidak baik. ini jelas terlihat dari alur kisah penulisan yang menceritakan bagaimana suku Pebato di tindas oleh suku Napu, (seolah olah mewakili praktek penjajahan oleh negaranya sendiri)

Akhirnya tanpa menutup mata dengan apa yang dilakukan belanda pada negara Indonesia sebelum memerdekaakan diri tahun 1945. Saya rasa tidak ada salahnya kita patut bersukur keberadaan Zending selain melakukan Kristenisasi mereka telah membawa sebuah pengetahuan baru yang sebelumnya tidak kita temukan.
Sebagai joke untuk pembaca yang budiman saya akan bertanya secara pribadi. dapatkah anda bayangkan kehidupan masyarakat Indonesia tanpa campur tangan asing. ya meskipun mereka itu penjajah = = (saya sebenarnya lebih suka yang jajah orang inggris sebab banyak wilayah bekas jajahan inggris lebih maju ketimbang bekas wilayah jajahan belanda. tapi lebih senang lagi kalau Indonesia dulu menjadi kerajaan yang menaklukan dunia dibawah pimpinan si Patih Gaja Madah yang ganteng sekali),
Jujur saja saya sendiri sampai saat ini membayangkan bila kita tidak bersentuhan dengan pihak asing mungkin saja tulisan ini tidak akan pernah ada, serta kita mungkin tidak mengenal apa itu ilmu pengetahuan. Mungkin saja saya sekarang sedang ditengah hutan pedalaman tanah poso. Mengendap-endap dan menanti anda yang mencoba melewati perbatasan wilayah suku kami . xixixi atau sebaliknya ==” .

Pembahasan chapter 6 sampai 12 (bagian 3)

Bila dongeng luar negeri menceritakan sosok mahluk elf yang dapat berubah menjadi binatang, atau manusia siluman yang dapat berubah menjadi serigala, di tanah poso kisah seperti itupun ada dan dilukiskan oleh to Poso dalam tulisan Kruyt sebagai sosok manusia yang melakukan praktek ilmu sesat atau yang lebih lasim dikenal dengan istilah “pongko” pongko dapat diartikan sejenis ilmu hitam yang dipraktekan oleh dukun yang kebanyakan adalah perempuan. Mereka yang mempraktekan ilmu hitam ini disebut to Mepongko atau orang yang berilmu hitam dan jampi-jampi atau guna-gunanya dikenal oleh to Poso dengan sebutan doti-doti.
Menurut kepercayaan to Poso, To Mepongko biasanya memiliki kemampuan untuk berubah wujud seperti hewan rusa dan lain-lain. Khusus untuk bagian ini penulis sebenarnya tidak mood menceritakannya akan tetapi mengingat tulisan ini dipersembahkan sebagai pengetahuan umum maka dengan berat hati penulis akan menceritakan beberapa cerita tentang to Mepongko.
Kisah tentang kemampuan mistis diseluruh dunia pasti sudah familiar ditelinga kita. Kitapun mengenal jenis ilmu putih dan ilmu hitam, Ilmu putih dianggap oleh masyarakat sebagai ilmu yang baik karena ilmu ini digunakan untuk tujuan pengobatan dan atau melawan kekuatan mistik jahat yang sengaja dikirimkan oleh seseorang karena perselisihan melalui perantaraan seorang dukun hitam.
Dukun hitam bagi to Poso kemudian diistilahkan dengan kata to Mepongko ( si sesat yang keberadaan di benci oleh masyarakat) dan dukun putih dikenal sebagai imam-iman dan dihormati oleh masyarakat.
Menurut saya perbedaan dukun putih dan hitam untuk masyarakat poso sangat jelas. Dukun putih tidak disebut to Mepongko bahkan mempunyai posisi yang istimewa didalam sebuah komunitas, karena selain menjadi media komunikasi antara masyarakat komunitas dengan roh leluhur. Mereka juga bekerja sebagai tabib yang dituntut harus dapat menyebuhkan penyakit termasuk penyakit kiriman ( guna-guna) didalamnya. Sedangkan dukun hitam posisi mereka didalam kehidupan komunitas dianggap sampah sebab keberadaanya hanya menyebabkan ketakutan dan keresahan masyarakat. Biasanya to Mepongko diidentikan dengan orang yang suka memakan hati manusia. dan harus dibunuh.
Menurut cerita yang masyarakat sewaktu penulis masih kecil, Konon seseorang yang mepongko dapat memakan hati manusia dengan cara menepuk pundak orang tersebut. Proses memakan hati si korban tidak pada saat itu juga melainkan pada waktu ia sedang tertidur pulas dimalam hari. Entah benar atau hanya mengada-ada dikatakan bahwa mereka yang makan hatinya tidak sadarkan diri dan keluarga yang menyaksikannya keesokan harinya melihat si korban masih dalam keadaan tertidur pulas namun tanpa hembusan nafas. Dikatakan pula mereka yang pernah membedah tubuh korban dari praktek pongko akan menemukan keganjilan pada isi perut si korban. Keganjilan yang dimaksudkan adalah hati si korban menghilang seolah-olah telah dibedah pada waktu malam harinya.
Buruknya image to Mepongko dimata masyarakat menyebabkan mereka yang diduga melakukan praktek perpongkoan ^0^ sebagai musuh seluruh komunitas dan harus dibunuh. Para imam yang memahami praktek ini menyarankan ketika mereka ditepuk pundaknya oleh seorang yang dicurigai sebagai to Mepongko harus membalasnya dengan menepuk kembali pundak si mepongko, tujuannya untuk mengimunekan diri dari doti-dotinya. Selain itu to Mepongko konon immortal dan kebal terhadap serangan fisik, untuk membunuhnya seseorang harus menggunakan batang pohon dari sejenis tanaman Tomene ke bayangan tubuh si mepongko. selain itu to Mepongko biasanya memiliki peliharaan seperti kuntilanak dan kalomba yang diberimakan jenis makanan tertentu.
Menurut penulis tidak menutup kemungkinan jenis makanan yang dimaksudkan adalah hati manusia. Konon katanya bila peliharaanya tidak diberimakan maka ia akan memakan hati tuanya. ( huaa sial bgt harus cerita kaya gini uekkk @_@. Buat yang penasaran bagaimana deskripsi peliharaan tersebut silakan link ke blog penulis yang lama di wwwpamonazone@blogspot)

(BRB MUNTAH)

Pembahasan chapter 6 sampai 12 (bagian 2)

Kematian seseorang di jaman Papa i Wunte merupakan bencana bagi kelangsungan hidup orang lain dikarenakan kehidupan to Poso pada jaman itu sangat “barbar” Tidak perduli penyebab kematiannya, seseorang harus di bunuh untuk dijadikan tumbal. Proses mencari tumbal dapat dilakukan dengan 2 cara yakni membeli calon tumbal (biasanya orang-orang yang telah lanjut usia dari suku lain) atau dengan cara pengayau ( berburuh kepala manusia dari suku bebuyutannya). Semakin banyak tumbal yang dikorbankan semakin tenang pula jiwa keluarga mereka yang meninggal.
Khusus untuk calon tumbal yang dibeli, penulis pernah mendengar kisah mengerikan dari seorang anak yang masa kecilnya dihabiskan disebuah tempat disebuah suku pemakan manusia di daerah kalimatan. Kisah anak itu sangat mengerikan dan alm nenekku begitu serius menceritakan pada kami ketika masih kecil, itu terlihat jelas dari sorot mata nenekku yang merasa senang karena cucunya terdiam berharap segera tertidur dan melupakan semua cerita itu. Inti cerita alm nenek ku kurang lebih sebagai berikut:
Alkisah anak kecil tersebut dititipkan oleh orang tuanya dirumah neneknya yang tinggal di Poso. Suatu hari ketika mereka sedang pergi kekebun tanpa sengaja sang nenek mendengar cucunya merencanakan untuk memakan si nenek. Rencana tersebut ternyata bukan usapan jempol belaka karna si cucu sudah mempersiapkan rempah-rempah dan menyiapkan parang (sejenis golok) untuk membunuh si nenek. Ketika si cucu pergi ke sungai untuk mengasah parangnya agar lebih tanjam, si nenek mengambil kesempatan tersebut untuk melarikan diri menuju kampung mereka. Entah bagaimana usah si nenek melarikan diri akhirnya ia tiba di kampung dan menceritakan cerita tersebut. Kontan saja seluru penghuni di kampung geger dan segera mengamankan cucu si nenek, saat di interogasi oleh kepala suku si cucu dengan polos berkata “ aku ingin memakan daging manusia karena daging manusia merupakan daging yang paling enak dibanding daging babi hutan, anoa atau rusa gunung”.
Belakangan baru di ketahui bahwa tempat tinggal si cucu di kalimatan memiliki tradisi yang mengerikan dimana orang-orang yang sudah lanjut usia seperti neneknya akan disuruh naik ke sebuah pohon di tengah perkampungan. Pohon yang telah dinaiki oleh orang-orang lanjut usia tersebut kemudian di goyang sedemikan rupa sehingga orang-orang tua yang ada diatasnya jatuh ketanah. Mereka yang jatuh ketanah kemudian dikumpulkan untuk menjadi menu utama mereka. Sedangkan orang-orang tua yang masih bergelantungan diturunkan kembali dan mengikuti acara “kanibalis” sambil menunggu hari-hari dimana tangan dan kaki mereka tidak kuat lagi berpegangan diatas pohon dan dijadikan menu makan pada upacara selanjutnya.
Kesan saya awalnya adalah “ betapa gila cucu tersebut, tidak ada kalimat manusia yang pantas untuk mendeskripsikan perilaku menyimpang dari anak itu. Sanagat berbanding 180ยบ dengan kebiasaan to Poso yang sangat menhormati orang yang lebih tua. Bahkan menyebut nama orang tua saja sudah sangat tabu bagi to Poso. Namun setelah saya membaca buku psikologi, perilaku anak tersebut tidak dapat disalahkan karena ia hanya meniru (imitasi) dan lingkungannya pada saat itu meng”ia”kan kebiasaan tersebut sehingga ia terkonformit oleh orang-orang yang ada disekitarnya.

Pembahasan chapter 6 sampai 12 (bagian 1)

Tidak dapat dipungkiri pengaruh Agama Kristen sangat besar dikehidupan to Poso saat ini karena mayoritas masyarakat poso menganut agama tersebut, akan tetapi keyakinan to Poso pada roh leluhur begitu kental tidak hanya pada jaman Papa i Wunte saja. Sebagai salah satu contoh to Poso yang hidup saat ini khususnya mereka yang hidup dipedesaan masih memiliki kebiasaan untuk bersiarah ke kuburan kakek / nenek (buyut) mereka untuk berbicang-bincang seolah-olah berhadapan langsung ( face to face) dengan mereka yang telah meninggal. Banyak hal yang bicarakan dari masalah sepeleh seperti mohon restu karna salah satu cucunya akan berangkat sekolah ditempat yang jauh, sampai masalah-masalah penting.
Akan tetapi menurut pendapat saya sendiri kebiasaan-kebiasaan berbicara di depan kuburan leluhur itu sifatnya relative tergantung dengan kaca mata apa kita menilainya. Sebab bila dari segi budaya to Poso sangat-sangat menghormati orang tuanya apalagi leluhur mereka. Bahkan orang tua yang bersiarah ke makan / kuburan leluhur, melarang anak-anaknya menujuk langsung kuburan leluhurnya karna itu tindakan tidak sopan dan anak-anaknya sepulang dari makam akan sakit demam / pusing. selain itu rumor mengenai marga yang disandang dibelakang nama depan to Poso saat ini merupakan nama salah satu leluhur mereka. Sehingga sangatlah wajar bila kebiasaan itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan seorang anak pada ayahnya. Dalam tulisan Kruyt pada chapter 6 jelas sekali dilukiskan bagaimana kesedihan Papa i Wunte mengenai buyutnya yang belum mengenal Tuhan.

chapter 12 Kemenangan Injil

Sekarang Papa i Wunte menanggap saatnya telah tiba untuk secara tebuka mengakui kebenaran ajaran Kristen, Setelah zendeling Hofman pada tangal 4 Juli 1909 berkhotbah mengenai Zakheus, Papa i Wunte beridiri dan berpidato kepada mereka yang hadir,” anda sekalian telah mendengar perkataan bapak zendeling: Tuhan Yesus ingin naik ke tempat tinggal kita juga, tetapi sampai sekarang kita tidak mau menyambut kedatanganya.Tetapi sekarang marilah kita mengikuti kata-kata yang baik ini. Ada yang mengatakna kalau mereka diundang untuk datang pada kebaktian hari Minggu, “ Dulu akau sudah pernah pergi”. Seolah-olah itu sudah cukup. Hal itu masih mungkin dalam pekerjaan dikebun dimana kalau kita Cuma bekerja satu atau dua kali suda ada hasil.
Tetapi pergi ke pertemuan pada hari minggu kita harus berdoa kepada Tuhan. Itu sebabnya saya menasehati semua kepala desa dan kepala keluarga : marilah kita mengumpulkan anak-anak kita, dan bersama-sama merundingkan untuk menjadi orang Kristen. Kemudian kita akan memutuskannya bersama pada esok hari.”
Bapak Hofman masih menulis kepada kami, : Pidato ini sangat berkesan kepada kami, karena baru kali ini Papa i Wunte yang begitu dihormati oleh semua orang mengajak mereka secara umum dan terbuka untuk menjadi orang Kristen. Bagi kami, yang senantiasa melihat suasana naik dan turun seperti arus gelombang laut, inilah saat yang mengharukan.
Karena bagaimanapun perkembagannya lebih lanjut pada prinsipnya telah ada suatu keputusan. Papa i Wunte sendiri mulai menebang pohong kekafiran.” Dan memang begitulah kenyataanya. Setiap hari Sabtu malam ditentukan waktu untuk mempersiapkan para calon batisan.
Dan pada hari Natal pertama tahun 1909 sekitar 100 orang dewasa dan anak dibatis di Kasiguncu, dan pada hari berikutnya lagi 66 orang dari longkida.
Orang yang paling gembira dari semua orang yang dibaptis ialah Ine i Maseka, yang dalam tangan Tuhan paling berperan untuk mendorong suaminya mengambil langkah yang penting ini. Selama upacara babtisan dia selalu sibuk untuk menunjukan kepada orang yang akan dibaptis bagaimana caranya mereka perlu berlutur dan melepaskan kain kepala, supaya air babtisan dapat menetes di dahi mereka
Saya hadir dalam upacara ini, karena bapak Hofman telah minta pertolonganku. Karena penyakitnya ia sudah tidak mampu melakukan semuannya sendiri. Pada akhir upacara baptisan ada suatu acara makan yang gembira, dimana saya duduk di sebelah Papa i Wunte. Selama waktu makan bersama itu, ia menceriterakan kepadaku mengapa ia begitu lama masih ragu untuk mengambil langkah yang menentukan , “ Apa yang terjadi dengan kami tidak lain daripada apa yang terjadi dengan suatu tentara orang Toraja dulu. Tentara itu terdiri dari orang Napu, Orang Pebato,Orang Lage dan orang lain lagi. Kalau suatu desa direbut, setiap orang mengambil beberapa tawanan ke wilayahnya. Begitupula Jiwa –jiwa manusia . Jiwa-jiwa yang ditangkap oleh Roh-roh hutan dibawa kedalam hutan; orang yang ditangkap oleh Anitu, dibawah ke wilayah mereka, Dan para jiwa yang dikuasai Allah, dibawahNya di Sorga. Lama sekali aku tidak mau ditangkap Allah . Aku seperti anak panah dalam panahan, kadang-kadang lepas, kadang-kadang tegang untuk ditembahkan, tetapi aku tidak pernah mau ditembakan.
Aku selalu berpikir akan anggota keluargaku yang tidak mau ikut, dan yang bisanya membutuhkan saya untuk melakukan upacara pengorbanan dan perkara keagamaan yang lain. Tetapi setelah pemerintah Belanda datang saya mengatakan bahwa sekarang semua beres, sekarang kita semuanya dapat hidup secara damai, Namun saya merasa ada benarnya perkataan para zendeling yang mengatakan bahwa perdamaian itu hanya berlaku dalam hidup ini, jadi bagaimana dengan jiwamu nanti, kalau anda belum membiarkan dirimu ditangkap Allah?
Dan sekarang aku telah berkata, bahwa hal ini harus terjadi; aku tidak boleh lagi memandang keluargaku yang tidak mau ikut. Dan sekarang aku telah menyerahkan diriku, hatiku sekarang diarahkan kepada Tuhan Allah,”


( foto: kegiatan mempersiapkan ucapan syukur berupa masak-memasak )

chapter 11 Persiapan Pertobatan dan penundaan terakhir

Meskipun Papa i Wunte semakin terbuka ia belum dapat mengambil langkah terakhir yang memutuskan. Sekarang ia mengajukan ,” kalau saja Raja Luwu tidak lagi menguasai kami, kami dapat menjadi Kristen.”
Raja Luwu tersebut, yang berasal dari wilayah selatan Tanah Poso . Sejak dulu menjadi penguasa wilayah Orang Poso. Raja itu, yang selalu dihormati oleh semua ayah dan kakek dari mereka yang sekarang hidup. telah menjadi semacam dewa dalam pandangan mereka Mereka berpendapat bahwa perpindahan agama sekaligus berati pemberontakan terhadap Raja Luwu, dan itu pasti akan menyebakan suatu luapan kemarahan dari roh-roh nenek moyang mereka, yang selalu setia pada raja tersebut.
Syukur bahwa pada tahu 1906 pemerintah Belanda mulai campur tangan dengan tegas dalam keadaan di Sulawesi Selatan dan Sulawes Tengah. Kebebasan yang berlebihan dari orang Napu dibatasi; kerajaan-kerajaan orang Bugis, a.l. di Luwu ditaklukan. Kerajaan Luwu dipaksakan untuk mengirim utusan-utusan kewilayah disekitar danau Poso, guna mengumumkan kepada para kepala Orang Poso, bahwa Raja Luwu telah melepaskan kuasanya atas wilayah mereka, sehingga mereka tidak lagi perlu berurusan dengannya.


( foto: Missionaris Hofman bersama anak didiknya)

Missionaris Hofman yang telah mengambil alaih peranan sayam berhasil mengumpulan beberap desa orang Pebato dalam suatu desa yang baru. Pusa desa yang baru ini, Kasiguncu, terdiri dari kedua desa Papa i Wunte, yaitu Panta dan Mopayawa. dimana kami sudah bekerja bertahun-tahun. Seringkali bapak Hofman pergi dari temapt tinggalnya di Poso ke kasiguncu guna menyusun tata desa itu, dan untuk mendorong orang untuk berpindah. Dalam semua hal itu Papa i Wunte selalu menolongnya dengan setia dan rajin . Sebuah gedung sekolah mulai dibagun, dan banyak anak dikupulkan disitu. Dan pada waktu ruamh zending yang baru telah selesai, Keluarga Hofman pinda dari Poso ke desa yang baru itu.
Berkat perkembagan ini seluruh Tana Poso, dan khususnya wilayah yang pusatnya ialah desa Papa i Wunte, telah memasuki suatu tahap baru. Pengaruh Luwu telah dihilangkan dan kami sangat berharap bahwa sekarang Papa i Wunte menjadi Kristen. Tetapi hal itu belum terjadi. Kadang-kandang kami malah memperoleh kesan bahwa ia mau mundur menuju jalan-jalan tua. Meskipun pengalaman itu mengecewakan kami, namun kami sekaligus gembira melihat bahwa penerimaan Injil membutuhkan pengabdian yang lebih besar dari pada yang kami bayangkan. Semua hambatan yang bersifat lahiriah sudah dihilangkan; dalam perkara-perkara yang umum orang selalu mengikuti nasehat para missionaris
Seorang dari luar, yang tiba di Kasiguncu dapat saja berpikir bahwa ia telah tiba dalam kampung Kristen. Namun tampaknya tuntutan pertobatan membutuhkan suatu pengabdian yang lebih besar dari pada apa yang dipikirkan dan mengenai hal itu kami bersukacita
Jikalau perkara ini hanya tergantung pada Ine i Maseka , istri Papa i Wunte selalu hadir dalam pertemuan pada hari minggu, tetapi pemberitan Injil yang dilaksanakan bapak Hofman, atau yang dibawah oleh Dr Adriani dan saya, tidak menerima tangapan karena ia selalu berdiam diri
Ia masih memerlukan persiapan lebih banyak, dan hal itu disediakan dari pihak sekolah, Sekolah itu telah mendidik beberapa murid, dan sebagai pemuda mereka ingin menjadi Kristen, Para Orangtua tidak setiap minggu di mana menurut sekolah ini akan dipersiapkan guna menerima baptisan.

chapter 10 Kusa Injil yang semakin nampak

Kami telah menjelaskan kebiasaan Orang Poso untuk merampas kerbau-kerbau dari orang yang masih berkeluarga dengan suatu pihak yang berhutang. Pernah salah satu “anak” Papa i Wunte perlu menagih hutangnya di Poso. Tetapi orang yang berhutang disitu mengirimnya kepada orang lain, yang mengirimnya kepada orang lain lagi, sehingga pada akhirnya ia tidak tahu lagi mau kemana untuk memperoleh lagi nilai hutang itu. Pada waktu orang ini datang mengeluh kepada Papa i Wunte, nampaknya tidak ada jalan keluar yang lain dari pada pergi menangkap beberapa kerbau dari Orang Poso. Kemudian mereka yang memiliki kerbau itu pasti akan datang, dan Papa i Wunte akan menjawab” tolong kalian lebih dahulu memutuskan siapa yang perlu membayar hutang kepada Padjo ( si penagih hutang), dan baru kemudian kerbau itu dapat dikembalikan.” Ia cukup bijaksana untuk meminta persetujuan pemerintah setempat, dan mereka tidak keberatan.
Pada suatu malam yang gelap gulita, sekitar 30 lelaki orang Pebato dibawah pimpinan Papa i Wunte menyeberangi sungai Poso. Mereka maju dengan hati-hati tanpa keributan, karena kalau kehadiran mereka diketahui pasti misi mereka akan gagal. Namun mereka beruntung karena dekat desa Sayo terdapat empat kerbau yang diikat pada waktu malam dan baru pada siang hari dibawah ke tempat rumput oleh anak-anak, Diam-diam keempat kerbau dilepas dan dibawa ke seberang sungai Poso.
Tentu pencurian ini langsung diketahui pada pagi hari yang berikut. Semua orang mengerti bahwa hilangnya kerbau itu mempunyai maksud tersendiri, Jadi mereka mengikuti jejak- jejak kerbau, dan tiba disungai dimana Papa i Wunte dengan orangnya telah menuggu. Orang Poso dikepalai oleh seorang anak raja dari Tojo, yang cukup berpengaruh di Poso. Kepala ini bernama Kolombi, bersikap amat sombong dan kasar. Pada kemudian hari ia bertabrakan dengan pemerintah Belanda, ditahan dan meniggal pada umur yang masih muda dalam pengasingan. Sekarang ia memaki kata-kata begitu kasar dan menghina terhadap Papa i Wunte, sehingga orangnya telah mengeluarkan parang-parang mereka, dan hanya menunggu tanda dari pemimpin mereka untuk menyerang.
Namun tanda itu tidak pernah diberikannya. Sambil berdiam diri Papa i Wunte kembali dengan anak buahnya yang telah naik darah. Pada waktu peristiwa ini disebarkan di wilayah suku Pebato, banyak orang mendesak Papa i Wunte supaya ia pergi menghukum desa Sayo. Penduduk disana juga menyiapkan dirinya bagi suatu serangan, dan menguatkan desa Sayawose, Tetapi pada kesempatan ini Papa i Wunte bersikap teguh. Saya tidak akan berperang lagi”, ia menjelaskan, “ kami tidak sama seperti beberapa tahun yang lalu. Firman Allah yang dibawa para Zendeling tidak mengizininkannya. Kami akan menyelesaikan perkara ini dengan suatu denda saja” kepala yang lain berusaha suapaya malunya dibangkitkan, karena kalau keberanian seOrang Poso diragukan ia pasti mau membela diri, Namun karena kuasa Injil, Papa i Wunte tetap teguh.
Biarlah saya masih memberi suatu contoh lagi yang membuktikan bahwa kuasa Injil mulai menguatkan Papa i Wunte. Hal itu terjadi pada tahun 1904, jadi pada waktu pemerintah Belanda ingin mengatur wilayah kekuasaannya di Indonesia dengan lebih mantap. Di Sulawesi Tengah terdapat seorang kontroleur, bapak Engelenburg, yang ingin menertibkan keadaan. Ia berusaha mengajar orang Napu bahwa mereka tidak lagi boleh merampas dan membakar semau-maunya. Belum jelas bagaimana caranya orang Napu perlu ditekan. tetapi mereka sendiri sudah mulai menduga sesuatu. Itulah sebabnya suasana menjadi tegang sekali. Setiap kelompok orang Napu dicurigai orang Belanda, dan mereka juga mungkin takut terhadap kami. Pada waktu yang sama terdapat kabar angin yang nampaknya menandakan celaka.
Pernah saya berada dengan bapak Hofman. yang baru saja tiba di Panta, ketika dua pesuruh dari kepala Tomasa datang dengan suatu pesan bahwa perwakilan kami yang baru didirikan di kuku telah terancam oleh suatu kelompok orang Napu. dan bahwa guru kami disitu, telah dibunuh, Kepala tersebut, Papa i Malepo, adalah seorang yang sangat serius, sehingga kami tidak lagi meragukan kebenaran berita ini. Oleh karena itu saya dan saudara Hofman mulai menyiapkan diri untuk pergi ke Kuku. Namun muncul suatu pertanyaan apakah pada waktu bersamaan tempat kami di Buyu Mbayau tidak akan diserang pula. Tetapi kami tidak dapat berada didua tempat sekaligus. Sebelum kami berangkat, kami mohon Papa i Wunte untuk menyertai kami. Ia datang dengan beberapa kepala menyertai kami. Kami beritahukan pesa buruk yang telah kami terima dari Tomasa, dan bertanya apakah guru dari Buyu Mbayau akan aman dengan mereka. Tanpa keraguan Papa i Wunte langsung menjawab:” Guru itu adalah salah satu dari kami; siapa menyakitinya, Juga menyakiti kami. Dia dan keluarganya pasti aman dengan kami.”
Perjalanan kami ke Tomasa tidak jadi karena dua pesuruh lain dari kepala yang sama telah muncul, dan memberitahukan bahwa wilayah Kuku ternyata tidak terancam sama sekali,
Pada waktu saya merenungkan perkataan Papa i Wunte, saya teringat akan suatu peristiwa beberapa tahun lebih dahulu. Waktu itu juga ada kabar angin bahwa orang Luwu sedang datang untuk mengusir semua orang Belanda dan guru mereka. Pada waktu itu tidak ada Orang Poso yang berani mendekati rumah para guru di Buyu Mbayau atau di Panta, karena mereka takut dianggap sebagai teman guru-guru tersebut, Ternyata ada rombongan utusan ornag Luwu datang ke Poso. Tetapi mereka hanya membawa suatu permintaan maaf dari raja mereka karena melalaikan sesuatu. Pada waktu saya membandingkan dua peristiwa ini, saya perlu mengakui kuasa Injil telah memberikan kekuatan kepada Papa i Wunte

chapter 9. Kuatnya kuasa kegelapan menghambat penerbosan injil

Lebih dari satu kali kami mendapatkan kesan bahwa pengaruh Injil terhadap Papa i Wunte sama sekali tidak berati. Pada waktu kepala desa Mapane. Papa i Wata, meninggal dunia pada tahun 1901, Papa i Wunte begitu terikat akan persahabatan dengan kepala ini sehingga ia merasa suatu keharusan untuk mengorbankan seseorang dikuburannya. Kuasa kekafiran sepenuhnya menguasainya lagi. Tanpa sepengetahuan keluarga Adriani, ia membeli seorang perempuan yang tua di Panta. Setengah jam menjelang desa Mapane korban itu dipotong, dan kuburan Papa i Wata dihiasi dengan rambut kepalanya. Kami mau membahas perkara ini secara serius dengannya, tetapi ia diam, sehingga kami tidak tahu apa pemikirannya.
Pada waktu yang hampir sama kami mendapat kabar bahwa Papa i Wunte mau berjalan ke Wilayah musuh bebuyutannya, orang Kinadu, untuk memperoleh kepala manusia lebih banyak guna menyelesaikan waktu berkabung terhadap seorang bibi. Kami sudah tahu jalan pemikiran pada peristiwa serupa, ” kamu pasti tidak mengasihi bibimu, sehingga kami tidak mau pergi mencari beberapa kepala untuk jiwanya”. Karena perkataan begitu Papa i Wunte merasa dirinya dipermalukanm dan ia memutuskan untuk menghadapi segala bahaya dengan susah payah perjalan ini.
Namun syukur kata-kata kami dan dari bapak Adriani disertai berkat Tuhan, dapat mencegah kepergiannya. Nampaknya pada periode itu Papa i Wunte ingin lepas dari tangan Tuhan yang sudah berada diatasnya, karena peristiwa yang berikut juga terjadi pada tahun yang sama, Pernah saya baru tiba di Buyu Mbayau pada waktu seseorang yang berpengaruh disitu diketemukan dalam keadaan pingsan dekat sumber air, Setelah ia dibawah keatas dalam rumahnya, masih lama sebelum ia sadar kembali, dan pada saat itu ia nampaknya sudah menjadi bisu.
Baru setelah satu hari ia dapat berbicara lagi, dan menceritakan bahwa seekor rusa telah mendekatinya dan berubah menjadi seorang anak perempuan yang tinggal dibekas desa Kayuku. Gadis itu menceriterakan kepada lelaki ini, bahwa ia telah memakan hati beberapa orang yang belum lama meningal, dan bahwa ia sekarang mencari suatu kesempatan untuk melakukan hal yang sama dengan hati Papa i Wunte dan Papa i Tobubu ( juga seorang kepala suku Pebato). Sekarang semua orang telah yakin bahwa mereka berurusan dengna suatu Pongko.
Saya mendesak Papa i Wunte supaya tidak campur tangan dalam hal ini; bahwa ia telah cukup mengenal Allah untuk mengetahui suatu Pongko tidak dapat menyakitnya apabila ia percaya pada Tuhan. Ia berdiam saja, tetapi pada suatu hari saya menerima kabar bahwa suatu rombongan lelaki dewasa dipimpin Papa i Wunte telah berada di Kayuku untuk menuntut kematian anak perempuan tersebut yang dianggap mepongko. Anda mungkin masi ingat bahwa mereka yakin akan kesalahan seseorang yang dituduh mepongko melalui suatu tes dimana terdakwa itu harus memasukan jarinya dalam dammar yang mendidih, Apabila jarinya tidak terbakar, orangnya dianggap tidak bersalah. Akan tetapi pada waktu itu ada seorang kepala desa disitu yang umumnya di hormati dan cukup berpengaruh, yang namanya Ta Danuji.
Dialah yang meyakinkan orang Pebato itu bahwa pertama mereka harus membutkikan bahwa anak perempuan tersebut dalam bentuk rusa telah berada di sumber air desa Buyu Mbayau, Hal itu hanya dapat dibuktikan melalui suatu sidang dewa, Baik dari lelaki Pebato maupun dari lelaki desa Kayuku seseorang maju, untuk melempar sebuah tombak, Pihak yang tombaknya paling dalam masuk ke tanah adalah yang benar. Ternyata tes ini menguntungkan pihak Kayuku, dan orang Pebato terpaksa mundur. Anak perempuan itu tetap hidup, dan tinggal dikuku sebagai ibu beberap anak.
Saya tidak perlu lagi menerangkan betapa beratnya pergumulan kami selama peristiwa ini. Kami merasa bahwa Tuhan bekerja dalam hati orang ini dan bahwa hanya kuasa Injil dapat menguatkannya. Ada juga petunjuk bahwa itu memang terjadi dan kami bersyukur bahwa Papa i Wunte tidak lagi dapat melepaskan dirinya dari tangan Tuhan.

chapter 8 Pengaruh injil yang semakin kuat

Papa i Wunte sudah segera yakin tentang kebenaran Injil bagi dirinya sendiri. Seringkali ia mengakui hal itu secara terbuka dalam pertemuan dimana ia selalu hadir apabila ia berada dirumah, Saya pernah berada di Panta waktu Papa i Wunte memberitahukan ” Aku tidak akan datang ke pertemuan nanti malam, karena ada urusan pesta pengorbanan di Woyo Makuni. Saya jawab bahwa saya menyesal kalau ia memilih pesta pengorbanan itu diatas firman Allah yang hidup. Tetapi ia mengatakan bahwa pada pesta itu kehadirannya dibutuhkan. Pada malam itu tidak banyak orang datang kepertemuan kami oleh karena pesta pengorbanan itu, namun saya heran bahwa “papa” duduk digaris terdepan. ”saya berpikir anda telah berangkat ke Woyo Makuni”, Kata saya. “Tetapi tuan sudah mengatakan bahwa pertemuan ini lebih penting” jawabnya,” itu sebabnya aku datang”.
Setelah kita belajar tentang kelemahan watak Papa i Wunte, tidak ada yang heran lagi bahwa banyak waktu dibutuhkan sebelum ia dapat mengambil langkah pertobatan yang memutuskan. Ia sudah tidak mau kehilangan kami, tetapi ia juga tidak mau menyingung perasaan sebagian rakyatnya, dan orang Islam di pantai juga dianggapnya sebagai sahabat.Siapa yang mengenal orangnya akan sadar bahwa keraguannya tidak disebabkan karena ia kurang serius; ada semacam kasih terhadap manusia pada umumnya yang mendorongnya untuk ingin selalu berteman dengan setiap orang.
Namun pengaruh Injil menjadi semakin kuat di dalam dirinya. Ia rajin betul dalam urusan sekolah dengan memberi pertolongan dalam pembangunan suatu sekolah yang kecil di Panta. dialah orang pertama yang mengheranku pada waktu pesta panen dengan suatu permohonan supaya pada acara makan bersama kita bersyukur berdoa kepada “ Allah yang besar itu”. Satu tahun sebelum hasil panen gagal secara total, dan saya pernah berdoa supaya Tuhan Allah akan memberi berkatNya, dan nampaknya itulah yang terjadi, Menurut Papa i Wunte bahwa pasti Tuhan Allah telah berpikir, kasihan orang miskin itu, betapa besarnya penderiataan mereka, Sejak peristiwa itu tidak lagi terjadi acara makan secara umum tanpa kami, atau salah satu dari para guru yang hadir, di undang untuk memimpin dalam doa syafaat.
Juga pada acara pengorbanan untuk orang mati, dan pada pesta di Lobo yang terkadang di bawah pimpinan Papa i Wunte, pengaruh Injil mula terasa. Perhatian orang-orang terhadap pesta itu semakin berkurang, dan baik Papa i Wunte maupun istrinya binggung dengan perkembangan itu.” kami tidak dapat lagi meniadakan bahwa agama kami kurang benar”, pernah diuraikannya dalam suatu pertemuan,” pasti anak-anak kami akan menjadi Kristen ; tetapi bagaimana mungkin kami juga begitu saja meninggalkan dewa kami?”
Lama sekali, begitulah sikap Papa i Wunte terhadap kebenaran Injil. Karena wataknya yang lemah-lembut ia tidak dapat mengambil tindakan yang tegas, meskipun ia sadar bahwa ia perlu bertobat dan menerima Kristus. Ia bermaksud menunggu sampai orang lain melangkah ke depan lebih dahulu, supaya ia , seorang pemimpin agama kafir, hanya perlu menyusul.
Lama sekali ia berusaha meyakinkan adinya. Ta Rumpi , untuk maju lebih dahulu, tatapi hasilnya bawah Ta rumpi mulai menghindari kami, karena ia menduga kami berada di belakang desakan itu. Kalau persoalan perpindahan agama ini hanya tergantung pada istri Papa i Wunte , Ine i Maseka, Pasti sudah lama hal ini diputuskan, kadang-kandang ia datang mengeluh kepada kami mengenai keragu-raguan suaminya, tetapi ia selalu menjelaskan dengan penuh rasa hormat dan pengertian bahwa begitu banyak perkara dipercayaakan kepada suaminya. Pada waktu anaknnya mereka cukup besar untuk masuk sekolah ia langsung dikirim oleh ibunya.
Pada kemudian hari anak itu datang tinggal dirumahku, dan setelah keberangkatan kami pada tahun 1905 ia tinggal dengan keluarga Hofman yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak ini. Anak mereka Naka juga langsung masuk sekolah. ” paling tidak anak-anaku perlu menjadi Kristen”, begitulah bunyi pekataan Ine i Maseka waktu kami berpisah pada tahun 1904. Kami semua setuju bahwa Ine i Maseka mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyakinkan pengaruh suaminya untuk mengambil langkah pertobatan yang pada akhirnya diambilnya.

chapter 7, Pendirian sekolah pertama di Panta

Papa i Wunte adalah kepala suku pertama yang mengizinkan seorang guru menetap didesanya, Panta. Tindakan itu cukup berani, dan ia banyak mengalami perlawanan dari kepala suku yang lain. Salah satu dari mereka menegaskan,”Orang pertama di desaku yang membawah potongan kayu untuk membagun rumah guru, orang itu pasti akan kubunuh.” Jadi pertolongan yang kami dapat untuk membagun rumah-rumah guru yang pertama sangat kurang. Pada waktu kami ingin memajukan pekerjaan ini dengan menempakan seorang guru di Buyu Mbayau, Kami berhasil hanya berkat dukungan Papa i Wunte. Saya telah mengujungi desa tersebut dan bertemu dengan kepala desa, Papa i Lupi. Beliau telah meninggal, tetapi istrinya menceritakan betapa besarnya ketakutannyam sehingga ia tidak berani memandang wajah saya pada kesempatan itu. Lama kami berbicara dengan kepala desa itu, dan menjelaskan manfaat sebuah sekolah guna mendapat izin untuk menempatkan seorang guru disitu. Namun hasilnya tetap sama, yaitu mereka tidak mau menerima seorang guru.
Pada akhirnya saya minta pertolongan Papa i Wunte. Dua bulan tidak ada berita, tetapi tidak lama kemudian karya Papa i Wunte menyelenggarakan pesta penanaman. Banyak orang berkumpul di ladang yang telah dipersiapkan, atara lain kepala desa dan imam-pertanian dari Buyu Mabyau. Saya sudah menduga bahwa perkara ini dapat diselesaikan selama pertemuan itu. setelah acara makan bersama, Papa i Wunte berdiri dan mengatakan,” jadi disini telah hadir Papa i Lupi dan Papa i Langi ( dua orang besar dari Buyu Mbayau tadi), dan semu yang ingi kukatakan ialah bahwa guru untuk desa mereka sekarang duduk di sini.” ( dan ia menuju kan guru yang kami siapkan itu).


(foto: Dr Adriani bersama anak didiknya )

Saya tidak berpikir perkara itu akan diselesaikan begitu cepat; pastilah hal ini merupakan hasil dari banyak perundingan. Satu-satunya hal yang masih diutarakan oleh si imam pertanian ilah,” tetapi julau guru ini meniggal di desa kami, apakah kalian tidak akan membalas kematiannya?” Saya menjawab “ Saya yakin kalian tidak menyakitinya. Dan apabila Tuah mengambilnya, kami tidak akan menyalahkan kalian.’ Begitulah permulaan pekerjaan di Buyu Mbayau, yang sekrang disebut Longkida. Sekarang suatu jemaat yang kecil tetap hidup,merupakan buah pekerjaan itu.

chapter 6, Perjuangan antara terang dan kegelapan

Papa i Wunte adalah orang pertama dari suku Pebato yang mendengar pemberitaan Injil, dan sejak saat itu ia terus-menerus mengikutinya. Pada tahun pertama orang yang datang mendengarkan saya, biasanya berkumpul di rumahnya. Meskipun kebanyakan orang Pebato belum mengerti maksud pemberitahuanku, Meskipun mereka mulai mengerti bahasaku, namun Papa i Wunte segera menyadari tuntutan pertobatan. Setelah salah satu pertemuan pertama, Papa i Wunte bertanya,”Apabila saya menjadi Kristen, hal-hal apa saja perlu saya tinggalkan ?”
Seringkali pertanyaan membuktikan bahwa ia merenungkan isi Injil itu. Pada waktu kami berusaha dengna sia-sia untuk mendirikan sebuah sekolah, Papa i Wunte mengatakan kepada saya, “ Kami kuatir bahwa sekolah ini akan merugikan nenek moyang kami.”
Maksudnya bahwa sekolah ini akan menarik anak-anak keluar dari agama nenek moyang mereka. Saya menjawab” Nenek moyang kalian dulu tidak pernah sempat mendengar Injil dimuka bumi ini.


( foto: Rumah lobo tempat pemujaan to poso mula-mula)

Sekarang mereka melihat cucu mereka, dan bersikap sedih bahwa kalian mau menaati manusia saja. jikalau salah satu dari nenek moyang itu dapat kembali kepada anda, pasti naesehatnya adalah ,” Pergilah ke sekolah itu dan belajarlah berdoa kepada Allah; jangan berdoa kepada kami karena kami manusia saja.”
Pada kesempatan yang lain ia bertanya :” Tetapi bagaimanakah keadaan jiwa-jiwa nenek moyangku yang tidak pernah mengenal Yesus?”.” Janganlah kuatir tentang mereka saya menjawab, “mereka juga berada dalam tangan Tuhan , dan Dialah Bapak yang penuh kasih ; mereka tidak sempat mendengar Injil di muka bumi ini, tetapi anda sekarang telah mendengarnya dan bertanggungjawab terhadap Dia.”

Pembahasan chapter 4 & 5

tentang Papa i Wunte dan Ine i Maseka

Salah satu gelar yang paling disukai oleh To Poso khususnya mereka yang memimpin sebuah suku atau klan adalah gelar “papa” atau ayah. Gelar ini merupakan sebuah kehormatan yang sangat bergensi seperti seorang yang mendapatkan gelar professor di depan nama aslinya. Hal ini dilukiskan oleh Kruyt dalam tulisannya tentang Papa i Wunte diamana ia sangat bangga bila ada yang memanggil Papa i Wunte dengan sebuat papa (ayah). Seperti yang dilukiskan dalam chapter sebelumnya tentang kelemahan Papa i Wunte, Ia sangat sedih bila ada orang yang berselisih dengan dirinya dan ia akan berusaha untuk berdamai dengan orang tersebut dengan cara apapun karena dia tidak mau orang tersebut membencinya dan berimbas pada hilangnya pengakuan papa atas dirinya. Menurut penulis Papa i Wunte merupakan sosok yang gila hormat namun dalam tanda kutip. sebab ia sangat bangga bila ia mampu menjadi ayah bagi orang lain dan mereka menghormati dirinya dalam ungkapan / sapaan papa atau ayah. Sedangkan sosok Ine Maseka merupakan bagian dari kisah tokoh Papa i Wunte yang tidak dapat dipisahkan, karena sebagai istri dari seorang kepala Suku Pebato yang dihormati pengaruhnya telah banyak membantu kepemimpinan suaminya. Khususnya ketika suaminya harus berhadapan dengan perkara-perkara yang sangat rumit.

Kebiasaan buruk
Di jaman Papa i Wunte tidak dikenal kepemilikan individu dalam kehidupan komunitas. Jadi meskipun sebuah kelompok suku bermukim dibeberapa tempat sehingga membentuk komunitas-komunitas misalnya komunitas Suku Pebato di pegunungan x dan komunitas Suku Pebato di pegunungan y, selama mereka masih mengakui bahwa mereka adalah satu bagian keluarga besar Suku Pebato maka segala perkara akan ditanggung bersama. Kebiasaan ini memberikan peluang beberapa oknum dari anggota Suku Pebato sendiri untuk mencari keuntungan dirinya sendiri meskipun harus merugikan kelompok keluarga besar dari suku pebatao. misalnya: ketika seorang dari komunitas Suku Pebato di pegunugan x berutang / mendapat denda dari suku lain yang berada disekitar wilayah pegunungan x, maka komunitas dari Suku Pebato yang tinggal di pegunungan y juga harus menanggung beban tersebut. Kebiasaan ini mungkin lebih tepatnya di ungkapkan dengan peribahasa nila setitik merusak susu sebelanga.
Bagi penulis kebiasaan ini sangat menyudutkan sosok seorang Papa i Wunte, sebab ia mendapat tekanan dari luar maupun dari dalam sukunya sendiri. Diluar Papa i Wunte mendapat tekanan yang luarbiasa dari kesewenang-wenangan orang dari Suku Napu. Dari dalam Papa i Wunte menghadapi permasalahan anggota suku yang selalu berutang dengan suku lain tanpa terbebani karena ia yakin masalahnya akan dibantu oleh seluruh komunitas suku terutama salah satu kepala Suku Pebato yang terkenal sangat baik hati yaitu Papa i Wunte.
Sehingga bila Kruyt menulis Papa i Wunte hidup sederhana dan tidak memiliki harta benda yang banyak secara logika ada benarnya, karena salah satu penyebab yang memiliki korelasi paling kuat adalah budaya dan perilaku to Poso itu sendiri.

chapter 5, Mama i Maseka

Kelemahan dalam watak Papa i Wunte, yaitu bahwa ia ingin berteman dengan setiap orang. Pasti lebih merugikan apabila Ine i Maseka bukan istrinya. Perempuan ini pula berada diatas Orang Poso yang lain, disamping rasa hormat dan kasih terhadap suaminya, ia juga menyadari kekurangannya. Dengan penilaiannya yang terang dan tindakan yang berani, ia selalu mendorong suaminya untuk bersikap lebih keras dan mantap.
Saya sering menikmati kesempatan untuk meninjau kehidupan rumah tangga mereka, pada waktu saya sering menginap dirumah mereka. Setelah semua yang datang mendengar pemberitaan injil telah pulang ke rumah mereka masing-masing, dan Ine I Maseka membentangkan tikarku ditempat tidurku, saya masih lama dapat mendengar mereka berbicara di kamar tidur mereka , Papa i Wunte selalu menceritakan kepada istrinya tentang segala perkara yang terjadi pada hari itu. Ine i Maseka ingin tahu semua, selalu bertanya dan sering saya mendengar ia mengatakan: “ kalau itu terserah aku, hal itu atau hal ini tidak akan ku setujui atau lakukan.”
Sejak tahun-tahun pertama saya berada di Poso, saya sudah yakin bahwa Ine i Maseka sangat mempengaruhi suaminya secara positip, kelakuannya selalu tenang, tetapi keyakinannya teguh,
Salah satu kebiasaan orang Toraja, yang banyak menimbulkan masalah ialah yang berikut: kalau seseorang berhutan dan ia tidak melunasi hutang itu, si penagih hutang berhak untuk mengambil ganti ruginya dari keluarga atau suku yang dekat dengan pihak yang berhutang. Kemudian mereka yang dirugikan perlu menekan pihak yang berhutang uang adalah orang mereka. Kebiasaan yang buruk ini telah dilarang oleh pemerintah Belanda, berasal dari rasa solidaritas dalam suku-siku Tanah Poso. Dulu tidak ada milik pribadi, segala harta kekayaan dimiliki seluruh suku. Jadi kau ada suku lain yang menagih suatu hutang, mereka tidak peduli siapa yang membayarnya, biarpun hanya orang tertentu yang menyebabkan hutang tersebut.
Pernah orang Napu menuntut hutang mereka yang berupa beberapa ekor kerbau dari desa buyu mbayau, tetapi desa ini tidak mu membayar karena mereka mengatakan tidak berhutan pada orang Napu itu, sebagai ganti rugi orang Napu tersebut menangkap beberapa kerbau dari desa Panta, dan dengan kerbau itu mereka ingin berangkat. tetapi seorang dari Panta melihat mereka, lari ke Panta dan melapor bahwa antara lain seekor kerbau yang sangat disenangi oleh Ine i Maseka sendang dirampas. Ketika para lelaki sedang berdiskusi soal itu, Ine i Maseka sudah lari mengejar orang Napu itu, Setibanya di situ ia merangkul kerbaunya, dan sambil menangisi berteriak: “aku tidak membiarkan kau pergi ke Napu, kaul kau pergi,kita berdua berangkat.”
Terjadi perkelahian antara Ine i Maseka dan orang Napu itu. Mereka berusaha melepaskan dari ekor kerbau itu, dengan menarik rambutnya yang panjang, ia tidak takut kerbaunya dengan tanduk yang tajam. Tetapi pada akhirnya ia pingsan dan baru setelah ia dimandikan menjadi sadar kembali. Kerbau ternyata di bawah oleh orang Napu itu,
Saya sudah menceriterakan diatas, bahwa Papa I Wunte pernah mengambil istri yang kedua, Meskipun itu sangat sulit bagi Ine i Maseka ia tetap mengabdi pada suaminya. Dengan setia ia melayani dan tidak pernah menyalahkan suaminya. Namun setelah perkawinan tersebut dibatalkan, kuat emosinya selama periode itu menjadi jelas. Seringkali ia menceriterakan dengan gerakan yang hebat dan teriakan yang penuh emosi tentang periode itu. Meski ine I Maseka jauh lebih mudah daripada suaminya, semua orang memanggilnya ine ( ibu) , dan patut juga ia mendapat sebutan itu.

chapter 4 Papa i wunte sebagai " Ayah"

Ciri menarik dari Papa i Wunte ialah ia senang disebut”papa’ ( ayah) oleh semua orang. ia tidak dapat bertahan kalau ada seseorang yang hidup tidak berdamai dengannya. Kalau itu terjadi setiap cara digunakannya untuk memulihkan kembali suatu hubungan yang baik. Hubungan yang selaras itu menjadi nampak dalam gelar” papa”. Para kepala yang sudah lanjut usia senang kalau mereka disebut “ papa” oleh orang asing, karena bagi orang Toraja yang mengikuti pola kemasyarakatan dengan ayah sebagai kepala keluarga, hal itu menunjukan suatu pengakuan dari wewenang mereka. Tetapi bagi Papa i Wunte nama ini mempunyai arti yang lebih mendalam lagi: ia sungguh-sungguh mempunyai kasih seorang ayah terhadap orangnya.
Saya tidak tahu mengapa saya mulai memanggilnya “papa”, tetapi hal itu terjadi sejak pertemuan kami yang pertama. “tua Boba” ( bapak adriani) adalah yang paling tua di antara kalian, tetapi anda adalah anak lelakiku yang sulung”. Kata Papa i Wunte kepadaku. Anda pertama-tama mulai memangilku “papa”, dan setelah itu semua pendeta, istri mereka, para pengawal dan para prajurit ikut juga,” hal itu disertai suatu senyum penuh rasa puas pada wajahnya. Sewaktu saya mengunjungi Kasiguncu pada awal tahun ini ( 1910), Papa i Wunte bertanya apakah saya telah menemukan seorang “ayah” dan “ibu” di Pendolo, tempat tinggalku yang baru. “tidak” , saya jawab,” seorang ayah dan ibu seperti Papa i Wunte dan Ine i Maseka sulit ditemukan. Terutama disekitar pendolo dimana kami baru pertama datang setelah pemerintah Belanda. Di situlah orang Belanda begitu dihormati, bahwa perempuan yang tua pun memanggilku “ Ngkai” ( kakek) dan istriku “ tu’a” ( nenek). Kalau begitu , mana mungkin saya dapat menemukan seorang “papa” dan seorang “mama” di situ.”
Pernah pada tahun 1901 ada sejumlah orang Pebato yang pergi mengayau diwilayah musuh mereka, orang kinadu. Mereka sangat beruntung, karena berhasil merebut suatu desa kecil disana, dan kembali dengan sekitar duabelas kepala manusia.
Diwilayah orang Pebato mereka membuat suatu perjalanan kemenangan. Di setiap desa diadakan pesta di sekitar Lobonya dengan kepala-kepala manusia itu. Pada akhirnya mereka juga tiba di desa Woyo Makuni, dimana Dr Adriani tinggal waktu itu, dengan kegembiraan dan keramaian yang luar biasa para pahlawan mau mengujungi Dr. Adriani, karena mereka mengharapkan ia juga akan menghormati mereka. Tetapi bapak Adriani mengecewakan mereka dan tidak mengizinkan mereka masuk kerumahnya, karena ia tidak mau menerima orang yang telah membunuh orang lain.
Tentu mereka semua sangat tersinggung dengan kelakuan yang keras dari Dr Adriani. Papa i Wunte sangat bergumul dengan suasana yang menegangkan itu. Ia tidak mau memutuksan hubungannya dengan bapak Adriani, Tetapi juga ingin membela orangnya. Selama beberapa kunjungan ia berusaha mencari sesuatu kompromi dengan mengusulkan supaya perkara ini diselesaikan dengan suatu denda. Namun Dr Adriani bersikap prinsipiil, dan hanya dapat mengakhiri dorongan Papa i Wunte dengan mengatakan:” mungkin anda memaksa saya dengan perkara ini untuk tidak lagi memanggil ada sebagai “ papa” . Saya akan menyesal kalau begitu, karena saya tidak mungkin bersikap lain.” Baru setelah itu Papa i Wunte mau menerima sikap bapak Adriani dan ia mengalah, karena ia tidak mau kehilangan gelar” papa” oleh kami.

7.15.2009

Pembahasan chapter 2 & 3

Salah satu leluhur yang menjadi cikal bakal orang poso kebanyakan saat ini adalah Papa i Wunte beliau merupakan salah satu ketua Suku Pebato yang mendiami pucak gunung yang diatasnya terdapat desa bernama Woyo Makuni. Penulispun yakin semboyan yang sekarang ini dikenal dengan istilah sintuwu maroso merupakan buah pemikiran dari beliau yang di turunkan pada generasi-generasi selanjutnya.
Apakah Raja Talasa yang merupakan raja poso yang termasyur saat itu juga merupakan keturunan dari Papa i Wunte, hmm tidak ada sumber yang mengatakan demikian. Tapi penulis yakin keturunan dari Papa i Wunte adalah orang-orang yang memiliki kelebihan khusus seperti dirinya.

Ramah-tamah
Adapun seluk beluk kepemimpinan dari kepala suku To Poso yakni sebagai berikut, untuk menjadi seorang pemimpin sebuah suku, maka ia harus memiliki 3 ciri utama seperti yang diwajibkan oleh para pemimpin dari Toraja yakni kemampuan untuk beramah-tamah, keberanian dan kefasihan berbicara.
Ketiga ciri khas ini mungkin saja hanya dimiliki oleh segelintir pemimpin baik raja maupun ketua suku yang hidup dijaman itu. Sebab seorang pemimpin meskipun dia sangat berani dalam setiap pertempuran dan mampu melakukan diplomasi dengan baik belum tentu mereka akan bersikap ramah pada setiap orang yang ditemuinya. Olehnya merupakan sebuah kebangaan bila ke tiga ciri tersebut melekat pada sosok Papa i Wunte.

Keberanian
Jika membahas masalah keberanian, masing-masing pemimpin memiliki cara dan moment tersendiri. Tak terkecuali sosok yang dilukiskan pada diri Papa i Wunte, meskipun kisah keberaniannya hanya diceritakan oleh anggota dari suku yang dipimpinnya. Sebab Papa i Wunte sendiri enggan menceritakan hal tersebut, mungkin sikap itu dianggap oleh Papa i Wunte sebagai sikap merendah dan tidak mau menyombongkan diri. Salah satu kisah keberanian Papa i Wunte adalah ketika pada usia 15 tahun dengan seorang diri ia berani berhadapan langsung dengan seekor kerbau hutan betina (oleh penulis dianggap kerbau itu adalah Anoa) hanya dengan sebilah parang (sejenis golok ). Tindakan itu bagi To Poso pada umumnya adalah sebuah sikap nekat yang membutuhkan nyali yang sangat besar dan tidak semua orang berani melakukan hal bodoh seperti itu. Sebab kerbau betina (anoa) yang baru saja melahirkan / memiliki anak bayi yang masih kecil, cenderung akan menyerang siapa saja yang melintasi sarangnya. Kerbau tersebut akan menggunakan tanduknya yang tajam sebagai senjata dan akan mengusir siapa saja yang dianggap berpotensi menganggu anaknya meskipun harus membunuhnya.
Sebagai tambahan berdasarkan cerita masyarakat yang sering berburu di hutan sewaktu penulis masih kecil, Kerbau betina akan sangat mematikan pasca beranak. Menurut mereka serangan kerbau hutan tidak layaknya seekor banteng pada umumnya yang menyerang lurus seperti yang kita lihat di arena matador. Kerbau hutan akan membungkukan kepalanya serendah mungkin ke tanah kemudian mengayunkan tanduknya ke atas layaknya pukulan upper cut dalam arena tinju. Penulis sulit melukiskan bagaimana jadinya bila mahluk hidup terkena serangan yang dikombinasikan dengan tanduk yang tajam. Namun menurut para pemburu itu untuk dapat mengalahkan atau menghidari kerbau hutan, kita harus berdiri di sisi tanah yang lebih tinggi darinya atau melawannya didalam sungai.

Kefasihan berbicara
Bila membahas masalah kefasihan berbicara semua pemimpin di dunia siapapun dia kemampuan berbicara memang sangat dibutuhkan ketika mengadakan diplomasi untuk sebuah kasus. Khusus To Poso kefasihan berbicara yang dimaksudkan adalah kemampuan mengutarakan sesuatu dengan sebuah sajak ( pantun) kemudian di balas oleh lawan bicaranya begitu seterusnya hingga salah satu diantaranya kehabisan perbedaharaan kata dan terdiam (lihat: debat pidato). Pihak yang terdiam dinyatakan kalah dan harus membayar denda. selanjutnya pihak pemenang akan memberikan sebagian hasil kemenangan atas kasusnya pada orang yang memenangkan debat. Olehnya dapat disimpulkan pula para pemimpin memperoleh pendapatan (lihat: Gaji) dari kemampuannya berbicara.
Papa i Wunte salah satu dari sekian banyak pemimpin suku yang memiliki kemampuan itu, dan ia saring dimintai pertolongan oleh orang lain bahkan di luar wilayah kekuasaanya. hal ini di buktikan dengan “tangga licin” sebuah istilah untuk menjelaskan tangga kayu di sebuah rumah khas To Poso mula-mula, yang akan halus dengan sendirinya apabila sering digunakan oleh orang dalam kurun waktu tertentu.


(foto: Ine i Maseka & Papa i Wunte saat lanjut usia)


Kelemahan Papa i Wunte, Raja Sigi Dan Ine Maseka

Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Papa i Wunte merupakan kelemahan bagi dirinya sendiri. Kelemahan yang dimaksudkan oleh penulis adalah kelebihanya untuk bersikap terlalu baik pada siapa saja. Akibatnya ia dalam memutuskan sebuah perkara sering kali tidak tegas bahkan ia seringkali harus menanggung rugi atas perkara yang di timbulkan oleh orang lain.
Kelemahan Papa i Wunte kemudian digunakan oleh orang-orang Napu sebagai kekuatan untuk menindas Suku Pebato ( suku yang di pimpin oleh Papa i Wunte ) dengan memberikan denda yang tidak wajar atas sebuah perkara, bahkan merampas hasil panen maupun ternak peliharaan Suku Pebato. Tidakan Suku Napu ( to Napu ) yang semena-mena terhadap kelompok Suku Pebato dikarenakan pada masa sebelumnya terjadi perang antara klan Suku Pebato dengan Suku Napu yang dimenangkan oleh Suku Napu. Kenyataan ini mendorong Papa i Wunte untuk berpikir meredam perlakuan Suku Napu dengan melamar salah satu anak petinggi Suku Napu yang pada saat itu dipimpin oleh raja Sigi. Adapun wanita yang dilamar oleh Papa i Wunte yaitu Ine i Maseka dan menikah pada tahun 1895 kisah ini mengingatkan penulis pada kisah sejarah temujin (Khan agung) yang melamar borte sebagai istrinya untuk mempersatuhkan 2 suku nomaden di padang rumput china. Namun kenyataanya tindakan Papa i Wunte yang menikahi gadis dari Suku Napu tidak mengurangi penindasan Suku Napu terhadap Suku Pebato.

chapter 3 Kelemahan Papa i Wunte

Kelemahan Papa i Wunte ialah bahwa ia senantiasa ingin bersahabat dengan setiap orang. Itu sebabnya seringkali ia tidak bisa bertindak dengan keras. ia merasa dirinya tidak mampu untuk mengambil suatu keputusan terakhir. Percakapannya menarik dan masuk akal. dan itulah yang sering menjamin kemanangannya. kebaikan hantinya yang sungguh- sungguh menarik semua orang untuk membuka diri di depannya. tetapi kuasa moril, yang dibutuhkan oleh seorang kepala untuk memerintah anak buahnya, kurang dimilikinya. orang dari desanya sendiri ( jadi anggota keluarganya) sangat dikasihaninya, tetapi ia tidak dapat mengatur mereka. jalan keluar, kalu ada yang menolak perintahnya, adalah dengan menimbulkan rasa malu dalam diri mereka yang menolak
“ waktu anda di denda orang Napu, bukankah aku yang menolong anda mendapat seekor kerbau, tetapi sekarang aku minta anda tidak mau menolong. “dan kalau orang yang menolak itu tidak terlalu bersikeras. Ia menjadi malu dan menaati perintah tersebut.
Pernah pada saat Papa i Wunte membutuhkan seseorang yang dapat membawa sebuah pesan ke suatu desa yang berjauhan: ia menunjuk seorang pemuda, namun pemuda itu mengatakan bahwa kakinya sakit, Papa i Wunte tahu bahwa hal itu hanya suatu alasan yang dibuat-buat. Memerintahkan dengan keras: ’Anda toh harus pergi”, tidak mungkin dilakukannya” waktu kamu berhutang dan hampir di denda, bukankah kakiku juga sakit dari semua perjalanan antara Mapane dan desa ini, guna membela kamu?” setelah perkatan itu, pemuda tadi berdiri dengan pelan. Mengambil berkas dan pergi melakukan tugas sambil terdiam.
Pada waktu pemerintah Belanda merebut wilayah Napu, ada bahan-bahan yang perlu diangkut ke sana. Papa i Wunte telah menunjuk beberapa orang untuk menjadi kuli angkut. Tetapi pada pagi hari yang berikut ada beberapa kuli yang tidak datang dan sengaja menyembunyikan diri. Papa i Wunte sangat marah, tetapi ia tidak dapat memaksa mereka yang tidak mau, selain dengan mengambil suatu bahan beban sendiri, dan mulai mengakutnya. Hal itu dianggap terlalu memalukan mereka yang menolak. Mereka muncul dari tempat persebunyian dan mengejar kelapala mereka untuk mengambil beban yang di pikulnya
Dengan begitu Papa i Wunte dapat menyelesaikan banyak perkara. Tetapi bukan karena pengaruh langsung dari jiwa yang kuat, tetapi dengan menimbulkan rasa malu karena ia menujuk pada jasanya bagi mereka. Karena kelemahan wataknya ini ia memang umumnya disenangi tetapi kekuatan dan pengaruhnya terbatas sekali.
Para musuh sukunya dari Napu sering menyalah gunakan kelemahan Papa i Wunte. Orang Pebato berperang melawan orang Napu, namun mereka selalu kalah. Oleh karena itu orang Pebato sekarang ditaklukan orang Napu. Seorang ayah biasa menceritakan kepada anak lelakinya betapa kuatnya orang Napu. sehingga mereka tidak dapat di lawan. Para ibu biasayan menceritakan pada anak-anak perempuan, betapa kasarnya orang Napu, yang begitu saja mengambil sesuatu yang disukai mereka. itu sebabnya para gadis yang kembali dari kebun dengna hasil panen, lari kalau mereka melihat orang Napu.
Dan karena orang Napu tahu bahwa orang itu begitu takut, mereka berani memaksa bermacam-macam denda yang tidak adil. Orang Pebato sering mengeluh, tetapi sudah tahu sebelumnya bahwa mereka terpaksa harus membayar apa yang diminta. Sebagian besar dari perkara-perkara, yang ditangani Papa i Wunte menyangkut denda-denda yang tidak adil dari orang Napu. Biasanya Papa i Wunte pergi kerumah mereka yang di denda, dan berbicara dengan mereka berjam-jam. Kadang-kadang ia berhasil untuk mengurangi denda itu, tetapi tidak pernah denda itu dibatalkan seratus persen. Seorang Napu tidak akan pernah mengakui kesalahan dengan berdiam diri, dan Papa i Wunte tidak dapat mengatakan dengan keras: “ Denda itu tidak adil. Kamu menolak membayarnya” Pernyataan itu mengkin boleh diharapkan dari Papa i Wunte, kalau ia marah dan tersinggung secara pribadi. Tetapi orang Napu itu bersikap cukup cerdik untuk mencegah hal itu. Mereka mencuri kiri-kanan dari kebun-kebun orang Pebato, tetapi para pembatu Papa i Wunte tidak pernah kembali dengan berita: “saguer Bapak telah di curi oleh to Napu”
Meskipun ia sendiri tidak diganggu oleh mereka, Papa i Wunte sangat bergumul dengan penderitaan rakyatnya. Bertindak dengan keras, yang sering kami nasehatkan, Tidak mungkin baginya karena ia tidak mampu bersikap begitu. Tetapi segala cara untuk mengutangi beban rakyatnya, telah dipakainya. Pernah ia berjalan ke Sigi, Tempat tinggal raja Napu waktu itu, Raja Sigi berjanji banyak, tetapi tidak ada perubahan.
Pada tahun 1895 Papa i Wunte menikah dengan seorang gadis asalah Napu, yang ibunya adalah seorang Pebato. Melalui ayah gadis ini mempunyai hubungan keluarga dengan salah satu kepala Suku Napu yang paling berpengaruh. Istrinya, ine I maseka, sangat sedih karena perkawinan ini, tetapi yang terutama mendorong Papa i Wunte ialah harapanya untuk mendapat pengaruh diantara para kepala Napu, Sehingga melalui cara ini ia dapat membebaskan rakyatnya dari penganiaayaan. Tetapi setelah kita mengetahui kelemahan Papa i Wunte tidak seorangpun akan heran untuk mendengar bahwa tidak ada perubahan: orang Napu tetap sedikit menghormati Papa i Wunte, tidak mengambil miliknya sendiri, tetapi dari rakyatnya mereka tetap menuntut denda-denda dan merampas milik mereka. Perkawinan tersbut perlu dibatalkan setelah empat tahun, karena Papa i Wunte sendiri tidak dapat bertahan dengan istrinya dari Napu itu.

chapter 2 kelebihan Papa i Wunte

Dengan cara ini saya mulai mengenal Papa i Wunte sebagai seorang kepala suku toraja. Tiga ciri utama yang diwajibkan untuk seorang kepala ialah: keramah-tamahan, keberanian dan kefasihan berbicara.
Papa i Wunte adalah seorang yang sangat ramah. biasanya ada tamu dirumahnya, jarang rumahnya kosong. dan ia selalu menerima mereka dengan gembira, meskipun kadang-kadang ia hanya dapat memberikan sepotong jangung saja. Saya masih ingat bahwa saya pernah pergi kerumah di kebunnya: Papa i Wunte sedang membersihkan suatu ladang hutan guna menanam padi disitu. Gubuk itu hampir kosong karena ia mau pulang ke desa malam itu. Sudah beberapa kali selama percakapan kami ia mengeluh :” Tidak ada sesuatu yang dapat kuberikan kepada tuan” Saya selalu menegaskan bahwa itu tidak perlu juga, tetapi tiba-tiba ia memanggil “ tunggu dulu, aku masih mempunyai sepotong sambiki”, dan segera ia mencari seperempat dari sebuah labu dari tasnya, dan memberikan kepadaku. saya makan supaya ia dapat tenang sedikit, tidak mengherankan bahwa semua orang senang dengan Papa i Wunte karena keramah-tamahan.
Kami bertemu dengan banyak orang poso, yang mengaggap dirinya sangat berani, namun kami yakin bahwa banyak dari mereka akan gagal testing apabila sungguh-sungguh ada bahaya. Kedua kepala suku Poso yang paling terkenal, papa I malepo dan Papa i Wunte, biarpun watak mereka sangat berbeda, tidak pernah berbicara sendiri tentang keberanian mereka; kisah kepahlawanan mereka selalu diceritakan oleh orang lain. Kedua-duanya sangat berusaha utuk hidup berdamai, dan sering berkorban dengan milik mereka sendiri guna menenangkan orang yang sedang bertikai. Tetapi apabila mereka dipaksa untuk berperang mereka memimpin pasukan mereka penuh kebijaksanaan dan keberanian.
Pernah pada salah satu malam waktu kami duduk di sekeliling obor, Papa i Wunte mulai menceritakan sesuatu yang terjadi waktu ia berumur sekitar 14 atau 15 tahun. “ waktu itu saya sedang dalam perjalanan melalui gunung-gunung bersama ayahku, pada suatu siang aku pergi mencari kayu api. Pada saat aku kembali dengan kayu itu dan berada di tempat terbuka, seekor kerbau betina yang sangat ganas mendekatiku. Aku melapaskan kayu itu, mengambil parangku dan memakainya sebagai pedang untuk melindungi diriku. Selama parang itu ada di antara kami, kerbau itu tidak dapat menyentuhku. Pada akhirnya ia bosan dan mulai mundur. Pada saat itu juga aku berlari menuju suatu jurang yang tidak jauh. Saya lompat kedalam jurang itu dan dapat menyelamatkan nyawaku dengan memegang ranting sebuah pohon. Si kerbau yang mengejarku tidak berani masuk ke dalam jurang itu. Aku penuh dengan luka dari duri dalam jurang itu. tetapi dapat mencapai gunung di seberang jurang itu dengan selamat. Disitu tiga orang dari rombongan kami sedang melihat perkelahianku dengan kerbau itu, tetapi tidak berbuat apa-apa. tentunya aku marah, tetapi mereka mengatakan kami tidak datang menolongmu, karena kami ingin melihat apakah kamu berani atau tidak ” tetapi mereka bohong, karena ternyata mereka sendiri teralu takut akan kerbau itu”. Ya sebagai anak mudah ia sudah berani, jawab salah satu hadirin itu, dan saya yakin cerita itu sangat berkesan bagi mereka, karena biasanya mereka cepat kehilangan kontrol atas dirinya dan kalau ada yang tidak begitu dianggap berani.
Salah satu tugas seorang kepala suku toraja dulu adalah menghakimi. kemenangan atau kekalahan dalam suatu perkara biasanya diputuskan oleh kefasihan berbicara seseorang yang membela dirinya. Kedua pihak yang bertikai, biasanya diwakili oleh kepala masing-masing, bercakap begitu lama sampai salah satu pihak kehilangan bahan bicara.
Berdiam berati mengakui kesalahan, dan dengan demikian pihak yang lain telah memenangkan pekara itu. Kalau kedua-duanya tetap membela dirinya, perkara itu hanya dapat diputuskan melalui kekerasan ( yang mengakibatkan perang), atau dengan membiarkan para dewa yang memutuskan. Tidak perlu seseorang meminta pertolongan kepala desanya sendiri. kau ia lebih percaya pada kepala lain. orang itu juga dapat diminta pertolongannya . Dan biasanya mereka pergi kepada orang yang telah menjadi terkenal dalam memenangkan perkara-perkara. Para kepala amat bangga, jikalau banyak orang datang memakai jasa mereka. “ tangga rumah sudah licin” ( keran banyaknya tamu yang naik turun), adalah suatu pujian yang digemari oleh seorang kepala. dan tangga dirimah Papa i Wunte memang licin karena sudah banyak mereka yang telah datang meminta pertolongannya. Kebanyakan tamunya datang untuk membahas kesulitan mereka.
Karena diseluruh dunia hati manusia sama, kami tidak heran bahwa juga diantara kepala orang poso ada orang yang menghakimi dengan memandang siapa orangnya. Kami hanya mengenal orang tertentu yang mau membela seseorang apabila ia sudah dapat dipastikan bahwa ia akan menang, karena banyaknya bukti atau lemahnya lawan yang dihadapi. jikalau seseorang menang, kepala ikut rugi karena perlu menolong membayar denda yang ditentukan, dan apabila seseorang menang ia mendapat sebagian dari denda yang dibayar oleh pihak yang lain.
Kami yakin bahwa Papa i Wunte siap untuk menolong setiap orang yang datang kepadanya, ia hidup bagi “ anak-anaknya”, demikianlah penggilan para pengikut seorang kepala. Buktinya bahwa ia tidak mencari keuntungan untuk dirinya saja, adalah bahwa ia tidak pernah menjadi kaya. Seiring ia berjalan jauh untuk menolong seseorang dalam perkaranya.
Pernah Papa i Wunte menceritakan tentang ibunya yang telah lama meninggal, waktu ibuku meninggal, semua orang sangat sedih karena ia sangat disenangi. alasanya ia disenangi ialah bahwa ia selalu siap untuk menolong setia orang. Itu baru disadari pada waktu ia sudah tiada’ waktu itu saya berpikir: banyak orang penting telah mempunyai ibu yang baik
Papa i Wunte merupakan suatu kekecualian di antara orang poso. bila tidak, ia tidak pernah akan begitu terkenal. karena disamping segala kekuatannya, ia memiliki suatu kelemahan dalam wataknya, yang mudah saja dapat menghilangkan seluruh pengaruhnya

Pembahasan chapter 1

Masyarakat poso mula-mula merupakan masyarakat yang terisolasi oleh alam (pengunungan dan hutan belantara) mereka terbagi atas 3 kelompok utama yakni kelompok masyarakat muslim yang kebanyakan tinggal dipesisir pantai, kelompok pedang seperti etnis china dan arab dan kelompok suku pedalaman yang diistilahkan oleh Kruyt sebagai kelompok masyarakat “kafir” (kata kafir: karena masih menganut kepercayaan pada roh leluhur ). Dari ketiga kelompok ini yang merupakan cikal-bakal orang poso saat ini berasal dari kelompok masyarakat ke 3 yang hidup dipwdalaman hutan dan akan dibahas lebih mendam, selanjutnya dalam tulisan ini diistilahkan oleh penulis sebagai To Poso ( orang poso)


(foto: peta yang dibuat oleh Kruyt, bandingan dengan peta Sulawesi sekarang )

Pada tulisan Kruyt pembaca mungkin dibingungkan dengan beberapa istilah mengenai penyebutan kelompok masyarakat ke 3 yang ada di sana. Sebab terkadang ia menjelaskan orang poso sebagai To Poso, terkadang ia menulis suku tertentu seperti Suku Pebato (to Pebato) dan terkandang menulisnya sebagai kelompok Orang Toraja. Khusus untuk permasalahan mengapa Kruyt menjelaskan orang Poso sebagai bagian dari Orang Toraja mungkin akan dijelaskan pada kesempatan yang lain. Namun kesimpulan sementara dari penulis bahwa To Poso diidentikan dengan Orang Toraja mungkin karena sifat-sifat mendasar seperti adat istiadat dan norma sosialnya memiliki banyak persamaan. Kemungkinan lain yakni To Poso merupakan Orang-Orang Toraja yang bermukim diwilayah tanah Poso lalu membentuk sebuah komunitas dan menamakan diri mereka Orang Toraja yang tinggal di tanah poso dan disingkat To Poso.
To Poso mula-mula merupakan kelompok masyarakat yang hidup menurut clan (suku) dan dipimpin oleh seorang kepala suku dengan gelar si pengayau. Pengayau merupakan sebuah tradisi berburu kepala dari suku lain, dimana suku yang menjadi incaran mereka adalah musuh bebuyutan mereka. Khusus untuk Suku Pebato pimpinan Papa i Wunte. Musuh bebuyutannya adalah orang-orang kinadu ( orang kinadu tidak dipaparkan secara jelas berasal dari suku yang mana, namun karena banyaknya perselisihan dengan Suku Napu, mungkin saja orang kinadu adalah bagian dari orang-orang Suku Napu: Penulis)
To Poso secara fisik tidak tinggi dan memiliki hidung yang lebar dengan pekerjaan utama sebagai petani. Mereka lebih nyaman tinggal di bukit atau pengunungan. Menurut saya (penulis) mungkin karena dengan tinggal di pegunungan mereka dapat hidup lebih nyaman dan aman dari serangan suku lain. Karena pengunungan merupakan benteng alami yang melindungi mereka.
Hal lain yang mengejutkan adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan alam temasuk unik. Sebab mereka berpikir bumi ini berupa daratan luas yang datar dimana surga (tempat peristirahatan leluhur mereka) berada di tengah-tengahnya.
To Poso seperti kebanyakan suku-suku lain di dunia dan di Indonesia pada umumnya mempercayai bahwa leluhur mereka yang sudah meninggal akan selalu menyertai, memelihara dan memberkati mereka. Sehingga bila panen mereka gagal seperti diserang hama atau bencana lainya mereka mendeskripsikan itu sebagai bentuk kemarahan leluhur. Olehnya mereka harus berkomunikasi dengan para leluhur dengan memberikan beberapa sesajen yang diperantarai oleh para imam yang prosesinya diadakan disebuah lobo (sejenis rumah pemujaan). Khusus untuk To Poso sendiri sebagai besar imamnya adalah wanita.
Akan tetapi permasalahan keyakinan yang tidak dapat dijelaskan oleh para imam maupun ketua suku dari To Poso adalah siapa dan bagaimana proses menciptakan alam, termasuk leluhur mereka.

Chapter 1 (bagian 2) Perkenalan pertama dengan Papa i Wunte

Papa i Wunte berpendapat bahwa dunia ini berbentuk rata, dan bahwa Sorga (tempat tinggal Tuhan di Surga) berada di bundaran atasnya. Ia berpikir bahwa Belanda tidak jauh dari pinggir dunia, dimana bumi dan surga saling bertemu. Menurut dia kalau Belanda begitu jauh, pasti itu sudah dekat tempatnya dimana bumi dan surga saling bertemu. Menurut dia kalau Belanda begitu jauh, pasti itu sudah dekat tempatnya dimana bumi dan surga saling menyentuh, jadi disitu orang tidak memerlukan imam-imam sebagai pengantara, tetapi mereka sendiri dapat mendekati Allah. Jikalu pada saat itu kemampuan saya untuk berbahasa lebih baik, pasti telah terjadi pemberitaan injil yang berguna. Namun hal itu masih sulit bagiku.
Saya berusaha untuk menjelaskan bahawa dunia ini bundar seperti sebuah bola, dan bahwa matahari tinggal diam. Tentu usahaku hanya menghasilkan suatu senyum yang sopan dan penuh rasa tidak bercaya. Demikian perkenalan pertama, dan awal persahabatan kami dengan salah satu kepala suku Pebato yang paling terkenal. Dua tahun kemudian, waktu istriku untuk pertama kali bertemu dengannya, waktu rumah yang baru kami di Poso diresmikan, ia sangat heran melihat lelaki yang pendek, ramah dan gembira itu, dan mengatakan “ Masa dia adalah seorang pengayau yang telah memotong kepala banyak musuhnya?.
Segera setelah perkenalan ini, saya kembali beberapa bulan ke Gorontalo dengan niat untuk masuk kedalam wilayah to Pebato pada waktu saya kembali lagi. Dan tidak lama setelah saya tiba lagi di Poso pada bulan September 1892, saya berangkat dengan seorang penujuk jalan ke desa Papa i Wunte. Nama desa itu adalah Woyo makuni dan waktu pertama saya naik kepuncak gunung dimana terletak desa itu, masih dapat saya rasakan. Kami sangat lelah baru tiba di atas, di mana terdapat suasana yang ramai dengan banyak orang dan babi. Mereka yang belum pernah melihat saya tampak sangat heran; banyak ibu dan anak lari kedalam rumah mereka. Saya berusaha memulai sesuatu percakapan tetapi mereka tidak tertarik sampai salah satu dari mereka bertanya terus terang apa maksud kedatanganku. saya menjawab mereka” pertama saya ingin berkenalan dengan saudara, dan kedua, saya ingin memberitahukan kepada saudara tentang Allah, karena saya tahu siapakah yang menciptakan dunia ini? “ tidak hal itu kami tidak tahu”, jawab mereka. Kemudian dengan rasa gugup dalam hari saya telah menyusun cerita penciptaan dalam bahasa Poso waktu saya berada di Gorontalo. Saya mulai membaca dan menceriterakannya. Tidak lama kemudian tiga orang dari mereka tertidur, dan ada orang lain yang mulai sesuatu pekerjaan tangan yang ribut. dengan mengukir sebuah gelang dari kerang yang besar. Ada lagi yang memandangku penuh rasa heran sambil menertawakan saya. Saya tidak ingat lagi apa yang dibuat yang lain, tetapi tidak ada banyak perhatian terhadap uraianku yang pasti dibawah dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Saya bertanya apakah temanku Papa i Wunte ada dirumah, dan ada yang menjawab bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Napu. Satu minggu kemudian ia telah kembali, dan saya mendaki gunung itu lagi. Papa i Wunte bertemu dengan saya di tempat Lobo suatu tanda bahwa ia memandangku sebagai orang asing.” apa sebenarnya maksud kedatangan saudara kesini?’, ia bertanya
Apakah bapak tidak ingat ? saya menjawab “ bukankan kita bersama-sama telah berbicara tentang Allah? Allah mengasihi semua orang, dan aku pelayanNya sehingga aku juga mengasihi semua orang. Hai itu kulakukan dengan merawat orang sakit, jadi aku tidak datang untuk berdagang dan mencari keuntungan, melainkan untuk menceritakan tentang kasih dan tindakan Allah.”
Mulai saat itu setiap minggu saya pergi dari poso ke Mapane untuk naik ke wojo makuni: pada waktu sore saya selalu kembali ke mapane. setelah Papa i Wunte menerima kami beberapa kali di tempat lobo, persahabatan kami mulai berkembang, dan pada akhirnya saya diterima dirumahnya, dan beberapa minggu kemudian lagi ia mengundang saya untuk menginap dirumahnya. Saya masih dapat merasa sukacita dalam hatiku mendengar undangan itu. setelah itu saya sering menginap dirumahnya, dan kalau setelah makan malam banyak orang berkumpul di sekeliling sebuah obor, saya sering sempat mengabarkan injil melalui ceritera dari alkitab
Beberapa bulan kemudian Papa i Wunte membangun suatu rumah di lokasi yang lebih mudah dicapai di mopajawa dekat desa panta, yang baru saat itu didirikan dan pada kemudian hari menjadi terkenal sebagai tempat tinggal keluaraga Adriani.

Chapter 1 (bagian 1) Perkenalan pertama dengan Papa i Wunte

waktu sore pada akhir bulan mei 1892 saya sedang bekerja dalam rumahku di Poso. Ketenangan itu dipecahkan oleh suara seorang tamu yang bertanya apakah saya berada dirumah. Saya bertemu dengan seorang yang pendek dengan hidung yang agak lebar. Ia nampak seperti kebanyakan petani, namun diwajahnya terdapat semacam cahaya yang merupakan ciri orang yang memiliki damai dalam dirinya. Orang itu adalah Papa i Wunte. Saya telah bertemu dengan dia beberapa hari sebelumnya di desa pantai Mapane, dimana ia mambawa anak perempuanya yang mempunyai luka berat. Saya menasehatinya untuk datang ke Poso dimana kami dapat merawat anak itu lebih baik. Sebelum ia ke poso, ia bertanya kepada pedangang Cina hal-hal apa yang kami gemari, dan pedangang itu menjawab bahwa pasti tuan Belanda suka kelapa muda dan ayam. Dan itulah yang dibawanya.


(foto: papa i wunte dan ine maseka)

Sore menjadi malam, dan saya masih asyik bercakap dengan tamuku. Sambil duduk di bangku bambu di rumahku yang sederhana, kami berbicara tentang banyak hal. Karena di Poso terdapat baik orang islam maupun orang kafir, saya sering meminta tamu saya apakah mereka makan daging babi guna mengetahui agama mereka. Sambil tertawa Papa i Wunte menjawab bahwa ia suka daging babi hutan, tetapi pernah menjadi sakit setelah ia makan daging babi peliharaan.
“jika saya mengunjungi desa bapak, apakah orang tidak akan menyerang dan melukai saya? saya bertanya. “tidak” , ia menegaskan, “kami hanya menyerang orang napu” Berbicara tentang anak perempuannya yang sakit saya mulai menceritakan tentang kasih Allah yang mahakuasa. Pasti bahasaku masih kurang baik waktu itu, tetapi nampaknya ia mengerti sesuatu, karena ia bertanya: ‘ jadi, para Imam perempuan tidak berkuasa atas orang sakit?”
Kemudian ia bertanya dimana letaknya Belanda, dan saya menjawab bahwa Belanda jauh dari Tana Poso. Reaksinya ialah :” Pasti Allah tinggal dekat Belanda, sehingga disitu tidak perlu ada imam-imam”. Hal itu masuk akal kalau kita menyadari bahwa para imam perempuan di Tana poso mengatakan bahwa roh mereka naik kepada Tuhan di Sorga ketika mereka mohon jiwa orang sakit dikembalikan. Perjalanan keatas itu amat panjang, dan segala pengalaman di jalan itu mereka beritahukan melalui nyayian-nyanyian .

Kata pengantar

Tulisan ini lahir atas dorongan beberapa pembaca yang sempat melihat isi di blog saya yang sebelumnya. di wwwpamonazone@blogspot. Akan tetapi karena kesibukan pada saat itu, dimana saya harus menyelesaikan skripsi maka kemudian blog itu terlupakan dan ironisnya passwordnya sendiri sampai saat ini tidak bisa diaktifkan lagi sehingga blog itu tinggal sejarah saja ^0^. Mungkin passwordnya telah diganti oleh seseorang atau mungkin saya sendiri sudah lupa angka kombinasinya.


(foto: Buku yang diterbitkan oleh GKST tahun 1994 )

Kesimpulan yang saya ambil dari orang yang membaca tulisan saya adalah mereka ingin tahu lebih banyak tentang masyarakat Poso ( To Poso), baik itu sejarah maupun kisah ( legenda ) yang menyertainya. Permasalahanya adalah fakta-fakta tentang keberadaan orang poso yang dibukukan sangat sedikit, sedangkan untuk saksi hidup kebanyakan sudah masuk usia lanjut bahkan banyak dari mereka sudah meninggal dunia. Ironisnya lagi banyak kisah orang poso diwariskan melalui media cerita dari seorang kakek / nenek sebagai dongeng untuk pengantar tidur atau menakut-nakuti cucu mereka agar tidak melangar norma-norma adat istiadat. Cerita itu diteruskan turun-temurun sampai pada suatu saat cerita itu hilang dengan sendirinya dikarenakan generasi selanjutnya engan mendengar kisah cerita leluhurnya karna dianggap kurang menarik dan terkesan dilebih-lebihkan. Mereka kemudian terlarut dalam dongeng orang lain yang sangat populer bahkan di filmkan seperti cerita para elf, dwarf, vampire dan lain-lain.
Penulis kemudian mencoba mengambarkan kehidupan masyarakat poso dari kacamata seorang Zending atau penginjil utusan dari belanda bernama Albert C.Kruyt yang dibukukan oleh Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) tahun 1994. Tulisan tersebut pada mulanya diusahakan oleh rumpun keluarga Drs.A.L.Sigilupu, kemudian bekerjasama dengan pihak GKST menterjemahkan naskah aslinya yang berbahasa belanda melalui dosen pengajar sebuah perguruan tinggi di Tentena bernama Henk van der Velde MA.
Tulisan ini kemudian dibagi atas 2 bagian; bagian pertama merupakan Tulisan asli dari Albert C Kruyt dan tulisan bagian ke dua merupakan pembasan menurut pemahaman penulis. Sebagai catatan meskipun tulisan ini merupakan tulisan pena seorang Zending (pengijil Belanda di tanah Poso) akan tetapi penulis tidak berusaha memasukan unsur “pengkristenan” dalam pembahasannya. Penulis semata-mata hanya ingin pembaca mengetahui gambaran bagaimana kehidupan masyarakat poso jaman dahulu kala. Olenya bila dalam pembahasan ini ternyata penulis melakukan kesalahan penafsiran mohon untuk di koreksi.