komentar anda

ShoutMix chat widget

7.15.2009

Pembahasan chapter 2 & 3

Salah satu leluhur yang menjadi cikal bakal orang poso kebanyakan saat ini adalah Papa i Wunte beliau merupakan salah satu ketua Suku Pebato yang mendiami pucak gunung yang diatasnya terdapat desa bernama Woyo Makuni. Penulispun yakin semboyan yang sekarang ini dikenal dengan istilah sintuwu maroso merupakan buah pemikiran dari beliau yang di turunkan pada generasi-generasi selanjutnya.
Apakah Raja Talasa yang merupakan raja poso yang termasyur saat itu juga merupakan keturunan dari Papa i Wunte, hmm tidak ada sumber yang mengatakan demikian. Tapi penulis yakin keturunan dari Papa i Wunte adalah orang-orang yang memiliki kelebihan khusus seperti dirinya.

Ramah-tamah
Adapun seluk beluk kepemimpinan dari kepala suku To Poso yakni sebagai berikut, untuk menjadi seorang pemimpin sebuah suku, maka ia harus memiliki 3 ciri utama seperti yang diwajibkan oleh para pemimpin dari Toraja yakni kemampuan untuk beramah-tamah, keberanian dan kefasihan berbicara.
Ketiga ciri khas ini mungkin saja hanya dimiliki oleh segelintir pemimpin baik raja maupun ketua suku yang hidup dijaman itu. Sebab seorang pemimpin meskipun dia sangat berani dalam setiap pertempuran dan mampu melakukan diplomasi dengan baik belum tentu mereka akan bersikap ramah pada setiap orang yang ditemuinya. Olehnya merupakan sebuah kebangaan bila ke tiga ciri tersebut melekat pada sosok Papa i Wunte.

Keberanian
Jika membahas masalah keberanian, masing-masing pemimpin memiliki cara dan moment tersendiri. Tak terkecuali sosok yang dilukiskan pada diri Papa i Wunte, meskipun kisah keberaniannya hanya diceritakan oleh anggota dari suku yang dipimpinnya. Sebab Papa i Wunte sendiri enggan menceritakan hal tersebut, mungkin sikap itu dianggap oleh Papa i Wunte sebagai sikap merendah dan tidak mau menyombongkan diri. Salah satu kisah keberanian Papa i Wunte adalah ketika pada usia 15 tahun dengan seorang diri ia berani berhadapan langsung dengan seekor kerbau hutan betina (oleh penulis dianggap kerbau itu adalah Anoa) hanya dengan sebilah parang (sejenis golok ). Tindakan itu bagi To Poso pada umumnya adalah sebuah sikap nekat yang membutuhkan nyali yang sangat besar dan tidak semua orang berani melakukan hal bodoh seperti itu. Sebab kerbau betina (anoa) yang baru saja melahirkan / memiliki anak bayi yang masih kecil, cenderung akan menyerang siapa saja yang melintasi sarangnya. Kerbau tersebut akan menggunakan tanduknya yang tajam sebagai senjata dan akan mengusir siapa saja yang dianggap berpotensi menganggu anaknya meskipun harus membunuhnya.
Sebagai tambahan berdasarkan cerita masyarakat yang sering berburu di hutan sewaktu penulis masih kecil, Kerbau betina akan sangat mematikan pasca beranak. Menurut mereka serangan kerbau hutan tidak layaknya seekor banteng pada umumnya yang menyerang lurus seperti yang kita lihat di arena matador. Kerbau hutan akan membungkukan kepalanya serendah mungkin ke tanah kemudian mengayunkan tanduknya ke atas layaknya pukulan upper cut dalam arena tinju. Penulis sulit melukiskan bagaimana jadinya bila mahluk hidup terkena serangan yang dikombinasikan dengan tanduk yang tajam. Namun menurut para pemburu itu untuk dapat mengalahkan atau menghidari kerbau hutan, kita harus berdiri di sisi tanah yang lebih tinggi darinya atau melawannya didalam sungai.

Kefasihan berbicara
Bila membahas masalah kefasihan berbicara semua pemimpin di dunia siapapun dia kemampuan berbicara memang sangat dibutuhkan ketika mengadakan diplomasi untuk sebuah kasus. Khusus To Poso kefasihan berbicara yang dimaksudkan adalah kemampuan mengutarakan sesuatu dengan sebuah sajak ( pantun) kemudian di balas oleh lawan bicaranya begitu seterusnya hingga salah satu diantaranya kehabisan perbedaharaan kata dan terdiam (lihat: debat pidato). Pihak yang terdiam dinyatakan kalah dan harus membayar denda. selanjutnya pihak pemenang akan memberikan sebagian hasil kemenangan atas kasusnya pada orang yang memenangkan debat. Olehnya dapat disimpulkan pula para pemimpin memperoleh pendapatan (lihat: Gaji) dari kemampuannya berbicara.
Papa i Wunte salah satu dari sekian banyak pemimpin suku yang memiliki kemampuan itu, dan ia saring dimintai pertolongan oleh orang lain bahkan di luar wilayah kekuasaanya. hal ini di buktikan dengan “tangga licin” sebuah istilah untuk menjelaskan tangga kayu di sebuah rumah khas To Poso mula-mula, yang akan halus dengan sendirinya apabila sering digunakan oleh orang dalam kurun waktu tertentu.


(foto: Ine i Maseka & Papa i Wunte saat lanjut usia)


Kelemahan Papa i Wunte, Raja Sigi Dan Ine Maseka

Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Papa i Wunte merupakan kelemahan bagi dirinya sendiri. Kelemahan yang dimaksudkan oleh penulis adalah kelebihanya untuk bersikap terlalu baik pada siapa saja. Akibatnya ia dalam memutuskan sebuah perkara sering kali tidak tegas bahkan ia seringkali harus menanggung rugi atas perkara yang di timbulkan oleh orang lain.
Kelemahan Papa i Wunte kemudian digunakan oleh orang-orang Napu sebagai kekuatan untuk menindas Suku Pebato ( suku yang di pimpin oleh Papa i Wunte ) dengan memberikan denda yang tidak wajar atas sebuah perkara, bahkan merampas hasil panen maupun ternak peliharaan Suku Pebato. Tidakan Suku Napu ( to Napu ) yang semena-mena terhadap kelompok Suku Pebato dikarenakan pada masa sebelumnya terjadi perang antara klan Suku Pebato dengan Suku Napu yang dimenangkan oleh Suku Napu. Kenyataan ini mendorong Papa i Wunte untuk berpikir meredam perlakuan Suku Napu dengan melamar salah satu anak petinggi Suku Napu yang pada saat itu dipimpin oleh raja Sigi. Adapun wanita yang dilamar oleh Papa i Wunte yaitu Ine i Maseka dan menikah pada tahun 1895 kisah ini mengingatkan penulis pada kisah sejarah temujin (Khan agung) yang melamar borte sebagai istrinya untuk mempersatuhkan 2 suku nomaden di padang rumput china. Namun kenyataanya tindakan Papa i Wunte yang menikahi gadis dari Suku Napu tidak mengurangi penindasan Suku Napu terhadap Suku Pebato.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar