komentar anda

ShoutMix chat widget

7.16.2009

Pembahasan chapter 6 sampai 12 (bagian 2)

Kematian seseorang di jaman Papa i Wunte merupakan bencana bagi kelangsungan hidup orang lain dikarenakan kehidupan to Poso pada jaman itu sangat “barbar” Tidak perduli penyebab kematiannya, seseorang harus di bunuh untuk dijadikan tumbal. Proses mencari tumbal dapat dilakukan dengan 2 cara yakni membeli calon tumbal (biasanya orang-orang yang telah lanjut usia dari suku lain) atau dengan cara pengayau ( berburuh kepala manusia dari suku bebuyutannya). Semakin banyak tumbal yang dikorbankan semakin tenang pula jiwa keluarga mereka yang meninggal.
Khusus untuk calon tumbal yang dibeli, penulis pernah mendengar kisah mengerikan dari seorang anak yang masa kecilnya dihabiskan disebuah tempat disebuah suku pemakan manusia di daerah kalimatan. Kisah anak itu sangat mengerikan dan alm nenekku begitu serius menceritakan pada kami ketika masih kecil, itu terlihat jelas dari sorot mata nenekku yang merasa senang karena cucunya terdiam berharap segera tertidur dan melupakan semua cerita itu. Inti cerita alm nenek ku kurang lebih sebagai berikut:
Alkisah anak kecil tersebut dititipkan oleh orang tuanya dirumah neneknya yang tinggal di Poso. Suatu hari ketika mereka sedang pergi kekebun tanpa sengaja sang nenek mendengar cucunya merencanakan untuk memakan si nenek. Rencana tersebut ternyata bukan usapan jempol belaka karna si cucu sudah mempersiapkan rempah-rempah dan menyiapkan parang (sejenis golok) untuk membunuh si nenek. Ketika si cucu pergi ke sungai untuk mengasah parangnya agar lebih tanjam, si nenek mengambil kesempatan tersebut untuk melarikan diri menuju kampung mereka. Entah bagaimana usah si nenek melarikan diri akhirnya ia tiba di kampung dan menceritakan cerita tersebut. Kontan saja seluru penghuni di kampung geger dan segera mengamankan cucu si nenek, saat di interogasi oleh kepala suku si cucu dengan polos berkata “ aku ingin memakan daging manusia karena daging manusia merupakan daging yang paling enak dibanding daging babi hutan, anoa atau rusa gunung”.
Belakangan baru di ketahui bahwa tempat tinggal si cucu di kalimatan memiliki tradisi yang mengerikan dimana orang-orang yang sudah lanjut usia seperti neneknya akan disuruh naik ke sebuah pohon di tengah perkampungan. Pohon yang telah dinaiki oleh orang-orang lanjut usia tersebut kemudian di goyang sedemikan rupa sehingga orang-orang tua yang ada diatasnya jatuh ketanah. Mereka yang jatuh ketanah kemudian dikumpulkan untuk menjadi menu utama mereka. Sedangkan orang-orang tua yang masih bergelantungan diturunkan kembali dan mengikuti acara “kanibalis” sambil menunggu hari-hari dimana tangan dan kaki mereka tidak kuat lagi berpegangan diatas pohon dan dijadikan menu makan pada upacara selanjutnya.
Kesan saya awalnya adalah “ betapa gila cucu tersebut, tidak ada kalimat manusia yang pantas untuk mendeskripsikan perilaku menyimpang dari anak itu. Sanagat berbanding 180ยบ dengan kebiasaan to Poso yang sangat menhormati orang yang lebih tua. Bahkan menyebut nama orang tua saja sudah sangat tabu bagi to Poso. Namun setelah saya membaca buku psikologi, perilaku anak tersebut tidak dapat disalahkan karena ia hanya meniru (imitasi) dan lingkungannya pada saat itu meng”ia”kan kebiasaan tersebut sehingga ia terkonformit oleh orang-orang yang ada disekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar