komentar anda

ShoutMix chat widget

7.16.2009

chapter 10 Kusa Injil yang semakin nampak

Kami telah menjelaskan kebiasaan Orang Poso untuk merampas kerbau-kerbau dari orang yang masih berkeluarga dengan suatu pihak yang berhutang. Pernah salah satu “anak” Papa i Wunte perlu menagih hutangnya di Poso. Tetapi orang yang berhutang disitu mengirimnya kepada orang lain, yang mengirimnya kepada orang lain lagi, sehingga pada akhirnya ia tidak tahu lagi mau kemana untuk memperoleh lagi nilai hutang itu. Pada waktu orang ini datang mengeluh kepada Papa i Wunte, nampaknya tidak ada jalan keluar yang lain dari pada pergi menangkap beberapa kerbau dari Orang Poso. Kemudian mereka yang memiliki kerbau itu pasti akan datang, dan Papa i Wunte akan menjawab” tolong kalian lebih dahulu memutuskan siapa yang perlu membayar hutang kepada Padjo ( si penagih hutang), dan baru kemudian kerbau itu dapat dikembalikan.” Ia cukup bijaksana untuk meminta persetujuan pemerintah setempat, dan mereka tidak keberatan.
Pada suatu malam yang gelap gulita, sekitar 30 lelaki orang Pebato dibawah pimpinan Papa i Wunte menyeberangi sungai Poso. Mereka maju dengan hati-hati tanpa keributan, karena kalau kehadiran mereka diketahui pasti misi mereka akan gagal. Namun mereka beruntung karena dekat desa Sayo terdapat empat kerbau yang diikat pada waktu malam dan baru pada siang hari dibawah ke tempat rumput oleh anak-anak, Diam-diam keempat kerbau dilepas dan dibawa ke seberang sungai Poso.
Tentu pencurian ini langsung diketahui pada pagi hari yang berikut. Semua orang mengerti bahwa hilangnya kerbau itu mempunyai maksud tersendiri, Jadi mereka mengikuti jejak- jejak kerbau, dan tiba disungai dimana Papa i Wunte dengan orangnya telah menuggu. Orang Poso dikepalai oleh seorang anak raja dari Tojo, yang cukup berpengaruh di Poso. Kepala ini bernama Kolombi, bersikap amat sombong dan kasar. Pada kemudian hari ia bertabrakan dengan pemerintah Belanda, ditahan dan meniggal pada umur yang masih muda dalam pengasingan. Sekarang ia memaki kata-kata begitu kasar dan menghina terhadap Papa i Wunte, sehingga orangnya telah mengeluarkan parang-parang mereka, dan hanya menunggu tanda dari pemimpin mereka untuk menyerang.
Namun tanda itu tidak pernah diberikannya. Sambil berdiam diri Papa i Wunte kembali dengan anak buahnya yang telah naik darah. Pada waktu peristiwa ini disebarkan di wilayah suku Pebato, banyak orang mendesak Papa i Wunte supaya ia pergi menghukum desa Sayo. Penduduk disana juga menyiapkan dirinya bagi suatu serangan, dan menguatkan desa Sayawose, Tetapi pada kesempatan ini Papa i Wunte bersikap teguh. Saya tidak akan berperang lagi”, ia menjelaskan, “ kami tidak sama seperti beberapa tahun yang lalu. Firman Allah yang dibawa para Zendeling tidak mengizininkannya. Kami akan menyelesaikan perkara ini dengan suatu denda saja” kepala yang lain berusaha suapaya malunya dibangkitkan, karena kalau keberanian seOrang Poso diragukan ia pasti mau membela diri, Namun karena kuasa Injil, Papa i Wunte tetap teguh.
Biarlah saya masih memberi suatu contoh lagi yang membuktikan bahwa kuasa Injil mulai menguatkan Papa i Wunte. Hal itu terjadi pada tahun 1904, jadi pada waktu pemerintah Belanda ingin mengatur wilayah kekuasaannya di Indonesia dengan lebih mantap. Di Sulawesi Tengah terdapat seorang kontroleur, bapak Engelenburg, yang ingin menertibkan keadaan. Ia berusaha mengajar orang Napu bahwa mereka tidak lagi boleh merampas dan membakar semau-maunya. Belum jelas bagaimana caranya orang Napu perlu ditekan. tetapi mereka sendiri sudah mulai menduga sesuatu. Itulah sebabnya suasana menjadi tegang sekali. Setiap kelompok orang Napu dicurigai orang Belanda, dan mereka juga mungkin takut terhadap kami. Pada waktu yang sama terdapat kabar angin yang nampaknya menandakan celaka.
Pernah saya berada dengan bapak Hofman. yang baru saja tiba di Panta, ketika dua pesuruh dari kepala Tomasa datang dengan suatu pesan bahwa perwakilan kami yang baru didirikan di kuku telah terancam oleh suatu kelompok orang Napu. dan bahwa guru kami disitu, telah dibunuh, Kepala tersebut, Papa i Malepo, adalah seorang yang sangat serius, sehingga kami tidak lagi meragukan kebenaran berita ini. Oleh karena itu saya dan saudara Hofman mulai menyiapkan diri untuk pergi ke Kuku. Namun muncul suatu pertanyaan apakah pada waktu bersamaan tempat kami di Buyu Mbayau tidak akan diserang pula. Tetapi kami tidak dapat berada didua tempat sekaligus. Sebelum kami berangkat, kami mohon Papa i Wunte untuk menyertai kami. Ia datang dengan beberapa kepala menyertai kami. Kami beritahukan pesa buruk yang telah kami terima dari Tomasa, dan bertanya apakah guru dari Buyu Mbayau akan aman dengan mereka. Tanpa keraguan Papa i Wunte langsung menjawab:” Guru itu adalah salah satu dari kami; siapa menyakitinya, Juga menyakiti kami. Dia dan keluarganya pasti aman dengan kami.”
Perjalanan kami ke Tomasa tidak jadi karena dua pesuruh lain dari kepala yang sama telah muncul, dan memberitahukan bahwa wilayah Kuku ternyata tidak terancam sama sekali,
Pada waktu saya merenungkan perkataan Papa i Wunte, saya teringat akan suatu peristiwa beberapa tahun lebih dahulu. Waktu itu juga ada kabar angin bahwa orang Luwu sedang datang untuk mengusir semua orang Belanda dan guru mereka. Pada waktu itu tidak ada Orang Poso yang berani mendekati rumah para guru di Buyu Mbayau atau di Panta, karena mereka takut dianggap sebagai teman guru-guru tersebut, Ternyata ada rombongan utusan ornag Luwu datang ke Poso. Tetapi mereka hanya membawa suatu permintaan maaf dari raja mereka karena melalaikan sesuatu. Pada waktu saya membandingkan dua peristiwa ini, saya perlu mengakui kuasa Injil telah memberikan kekuatan kepada Papa i Wunte

Tidak ada komentar:

Posting Komentar