komentar anda

ShoutMix chat widget

7.15.2009

Pembahasan chapter 1

Masyarakat poso mula-mula merupakan masyarakat yang terisolasi oleh alam (pengunungan dan hutan belantara) mereka terbagi atas 3 kelompok utama yakni kelompok masyarakat muslim yang kebanyakan tinggal dipesisir pantai, kelompok pedang seperti etnis china dan arab dan kelompok suku pedalaman yang diistilahkan oleh Kruyt sebagai kelompok masyarakat “kafir” (kata kafir: karena masih menganut kepercayaan pada roh leluhur ). Dari ketiga kelompok ini yang merupakan cikal-bakal orang poso saat ini berasal dari kelompok masyarakat ke 3 yang hidup dipwdalaman hutan dan akan dibahas lebih mendam, selanjutnya dalam tulisan ini diistilahkan oleh penulis sebagai To Poso ( orang poso)


(foto: peta yang dibuat oleh Kruyt, bandingan dengan peta Sulawesi sekarang )

Pada tulisan Kruyt pembaca mungkin dibingungkan dengan beberapa istilah mengenai penyebutan kelompok masyarakat ke 3 yang ada di sana. Sebab terkadang ia menjelaskan orang poso sebagai To Poso, terkadang ia menulis suku tertentu seperti Suku Pebato (to Pebato) dan terkandang menulisnya sebagai kelompok Orang Toraja. Khusus untuk permasalahan mengapa Kruyt menjelaskan orang Poso sebagai bagian dari Orang Toraja mungkin akan dijelaskan pada kesempatan yang lain. Namun kesimpulan sementara dari penulis bahwa To Poso diidentikan dengan Orang Toraja mungkin karena sifat-sifat mendasar seperti adat istiadat dan norma sosialnya memiliki banyak persamaan. Kemungkinan lain yakni To Poso merupakan Orang-Orang Toraja yang bermukim diwilayah tanah Poso lalu membentuk sebuah komunitas dan menamakan diri mereka Orang Toraja yang tinggal di tanah poso dan disingkat To Poso.
To Poso mula-mula merupakan kelompok masyarakat yang hidup menurut clan (suku) dan dipimpin oleh seorang kepala suku dengan gelar si pengayau. Pengayau merupakan sebuah tradisi berburu kepala dari suku lain, dimana suku yang menjadi incaran mereka adalah musuh bebuyutan mereka. Khusus untuk Suku Pebato pimpinan Papa i Wunte. Musuh bebuyutannya adalah orang-orang kinadu ( orang kinadu tidak dipaparkan secara jelas berasal dari suku yang mana, namun karena banyaknya perselisihan dengan Suku Napu, mungkin saja orang kinadu adalah bagian dari orang-orang Suku Napu: Penulis)
To Poso secara fisik tidak tinggi dan memiliki hidung yang lebar dengan pekerjaan utama sebagai petani. Mereka lebih nyaman tinggal di bukit atau pengunungan. Menurut saya (penulis) mungkin karena dengan tinggal di pegunungan mereka dapat hidup lebih nyaman dan aman dari serangan suku lain. Karena pengunungan merupakan benteng alami yang melindungi mereka.
Hal lain yang mengejutkan adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan alam temasuk unik. Sebab mereka berpikir bumi ini berupa daratan luas yang datar dimana surga (tempat peristirahatan leluhur mereka) berada di tengah-tengahnya.
To Poso seperti kebanyakan suku-suku lain di dunia dan di Indonesia pada umumnya mempercayai bahwa leluhur mereka yang sudah meninggal akan selalu menyertai, memelihara dan memberkati mereka. Sehingga bila panen mereka gagal seperti diserang hama atau bencana lainya mereka mendeskripsikan itu sebagai bentuk kemarahan leluhur. Olehnya mereka harus berkomunikasi dengan para leluhur dengan memberikan beberapa sesajen yang diperantarai oleh para imam yang prosesinya diadakan disebuah lobo (sejenis rumah pemujaan). Khusus untuk To Poso sendiri sebagai besar imamnya adalah wanita.
Akan tetapi permasalahan keyakinan yang tidak dapat dijelaskan oleh para imam maupun ketua suku dari To Poso adalah siapa dan bagaimana proses menciptakan alam, termasuk leluhur mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar