komentar anda

ShoutMix chat widget

7.16.2009

chapter 4 Papa i wunte sebagai " Ayah"

Ciri menarik dari Papa i Wunte ialah ia senang disebut”papa’ ( ayah) oleh semua orang. ia tidak dapat bertahan kalau ada seseorang yang hidup tidak berdamai dengannya. Kalau itu terjadi setiap cara digunakannya untuk memulihkan kembali suatu hubungan yang baik. Hubungan yang selaras itu menjadi nampak dalam gelar” papa”. Para kepala yang sudah lanjut usia senang kalau mereka disebut “ papa” oleh orang asing, karena bagi orang Toraja yang mengikuti pola kemasyarakatan dengan ayah sebagai kepala keluarga, hal itu menunjukan suatu pengakuan dari wewenang mereka. Tetapi bagi Papa i Wunte nama ini mempunyai arti yang lebih mendalam lagi: ia sungguh-sungguh mempunyai kasih seorang ayah terhadap orangnya.
Saya tidak tahu mengapa saya mulai memanggilnya “papa”, tetapi hal itu terjadi sejak pertemuan kami yang pertama. “tua Boba” ( bapak adriani) adalah yang paling tua di antara kalian, tetapi anda adalah anak lelakiku yang sulung”. Kata Papa i Wunte kepadaku. Anda pertama-tama mulai memangilku “papa”, dan setelah itu semua pendeta, istri mereka, para pengawal dan para prajurit ikut juga,” hal itu disertai suatu senyum penuh rasa puas pada wajahnya. Sewaktu saya mengunjungi Kasiguncu pada awal tahun ini ( 1910), Papa i Wunte bertanya apakah saya telah menemukan seorang “ayah” dan “ibu” di Pendolo, tempat tinggalku yang baru. “tidak” , saya jawab,” seorang ayah dan ibu seperti Papa i Wunte dan Ine i Maseka sulit ditemukan. Terutama disekitar pendolo dimana kami baru pertama datang setelah pemerintah Belanda. Di situlah orang Belanda begitu dihormati, bahwa perempuan yang tua pun memanggilku “ Ngkai” ( kakek) dan istriku “ tu’a” ( nenek). Kalau begitu , mana mungkin saya dapat menemukan seorang “papa” dan seorang “mama” di situ.”
Pernah pada tahun 1901 ada sejumlah orang Pebato yang pergi mengayau diwilayah musuh mereka, orang kinadu. Mereka sangat beruntung, karena berhasil merebut suatu desa kecil disana, dan kembali dengan sekitar duabelas kepala manusia.
Diwilayah orang Pebato mereka membuat suatu perjalanan kemenangan. Di setiap desa diadakan pesta di sekitar Lobonya dengan kepala-kepala manusia itu. Pada akhirnya mereka juga tiba di desa Woyo Makuni, dimana Dr Adriani tinggal waktu itu, dengan kegembiraan dan keramaian yang luar biasa para pahlawan mau mengujungi Dr. Adriani, karena mereka mengharapkan ia juga akan menghormati mereka. Tetapi bapak Adriani mengecewakan mereka dan tidak mengizinkan mereka masuk kerumahnya, karena ia tidak mau menerima orang yang telah membunuh orang lain.
Tentu mereka semua sangat tersinggung dengan kelakuan yang keras dari Dr Adriani. Papa i Wunte sangat bergumul dengan suasana yang menegangkan itu. Ia tidak mau memutuksan hubungannya dengan bapak Adriani, Tetapi juga ingin membela orangnya. Selama beberapa kunjungan ia berusaha mencari sesuatu kompromi dengan mengusulkan supaya perkara ini diselesaikan dengan suatu denda. Namun Dr Adriani bersikap prinsipiil, dan hanya dapat mengakhiri dorongan Papa i Wunte dengan mengatakan:” mungkin anda memaksa saya dengan perkara ini untuk tidak lagi memanggil ada sebagai “ papa” . Saya akan menyesal kalau begitu, karena saya tidak mungkin bersikap lain.” Baru setelah itu Papa i Wunte mau menerima sikap bapak Adriani dan ia mengalah, karena ia tidak mau kehilangan gelar” papa” oleh kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar