komentar anda

ShoutMix chat widget

7.16.2009

Pembahasan chapter 4 & 5

tentang Papa i Wunte dan Ine i Maseka

Salah satu gelar yang paling disukai oleh To Poso khususnya mereka yang memimpin sebuah suku atau klan adalah gelar “papa” atau ayah. Gelar ini merupakan sebuah kehormatan yang sangat bergensi seperti seorang yang mendapatkan gelar professor di depan nama aslinya. Hal ini dilukiskan oleh Kruyt dalam tulisannya tentang Papa i Wunte diamana ia sangat bangga bila ada yang memanggil Papa i Wunte dengan sebuat papa (ayah). Seperti yang dilukiskan dalam chapter sebelumnya tentang kelemahan Papa i Wunte, Ia sangat sedih bila ada orang yang berselisih dengan dirinya dan ia akan berusaha untuk berdamai dengan orang tersebut dengan cara apapun karena dia tidak mau orang tersebut membencinya dan berimbas pada hilangnya pengakuan papa atas dirinya. Menurut penulis Papa i Wunte merupakan sosok yang gila hormat namun dalam tanda kutip. sebab ia sangat bangga bila ia mampu menjadi ayah bagi orang lain dan mereka menghormati dirinya dalam ungkapan / sapaan papa atau ayah. Sedangkan sosok Ine Maseka merupakan bagian dari kisah tokoh Papa i Wunte yang tidak dapat dipisahkan, karena sebagai istri dari seorang kepala Suku Pebato yang dihormati pengaruhnya telah banyak membantu kepemimpinan suaminya. Khususnya ketika suaminya harus berhadapan dengan perkara-perkara yang sangat rumit.

Kebiasaan buruk
Di jaman Papa i Wunte tidak dikenal kepemilikan individu dalam kehidupan komunitas. Jadi meskipun sebuah kelompok suku bermukim dibeberapa tempat sehingga membentuk komunitas-komunitas misalnya komunitas Suku Pebato di pegunungan x dan komunitas Suku Pebato di pegunungan y, selama mereka masih mengakui bahwa mereka adalah satu bagian keluarga besar Suku Pebato maka segala perkara akan ditanggung bersama. Kebiasaan ini memberikan peluang beberapa oknum dari anggota Suku Pebato sendiri untuk mencari keuntungan dirinya sendiri meskipun harus merugikan kelompok keluarga besar dari suku pebatao. misalnya: ketika seorang dari komunitas Suku Pebato di pegunugan x berutang / mendapat denda dari suku lain yang berada disekitar wilayah pegunungan x, maka komunitas dari Suku Pebato yang tinggal di pegunungan y juga harus menanggung beban tersebut. Kebiasaan ini mungkin lebih tepatnya di ungkapkan dengan peribahasa nila setitik merusak susu sebelanga.
Bagi penulis kebiasaan ini sangat menyudutkan sosok seorang Papa i Wunte, sebab ia mendapat tekanan dari luar maupun dari dalam sukunya sendiri. Diluar Papa i Wunte mendapat tekanan yang luarbiasa dari kesewenang-wenangan orang dari Suku Napu. Dari dalam Papa i Wunte menghadapi permasalahan anggota suku yang selalu berutang dengan suku lain tanpa terbebani karena ia yakin masalahnya akan dibantu oleh seluruh komunitas suku terutama salah satu kepala Suku Pebato yang terkenal sangat baik hati yaitu Papa i Wunte.
Sehingga bila Kruyt menulis Papa i Wunte hidup sederhana dan tidak memiliki harta benda yang banyak secara logika ada benarnya, karena salah satu penyebab yang memiliki korelasi paling kuat adalah budaya dan perilaku to Poso itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar